Letak Masjidil Haram dan Keistimewaannya untuk Umat Muslim Dunia

Hari ini Jumat, 22 Desember 2023 diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Peringatan Hari Ibu atau Mother’s Day adalah hari peringatan terhadap peran dan jasa seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak, maupun lingkungan sosialnya. Setiap kata yang terucap, terutama dari seorang ibu, memiliki kekuatan doa yang luar biasa.

Ada sebuah kisah inspiratif dari seorang bocah mungil yang tengah asyik bermain tanah. Sementara itu sang ibu sibuk menyiapkan jamuan makan yang diadakan oleh sang ayah. Sang tamu dan tuan rumah telah menghadap hidangan makanan ketika makanan siap tersaji di ruang tamu. Saat acara hendak dimulai, tiba-tiba kedua tangan mungil itu menggenggam debu dan menaburkan debu itu diatas hidangan yang tersaji.

Marah pun menyelimuti hati sang ibu ketika melihat hal tersebut, namun sang ibu tetap memilih untuk mengucapkan kata-kata bijak, “Idzhab. Ja’alaka imaaman lilharamain.” yang artinya Pergi kamu. Biar kamu jadi imam di haramain.

Baca Juga : Tahun 2023 Sudah Mencapai Penghujungnya: Sudahkah Kita Muhasabah Diri?

Siapa sangka bahwa anak kecil yang mendengar ucapan tersebut kini telah dewasa dan menjadi Imam Masjidil Haram yang terkenal, Syekh Abdurrahman as-Sudais. MasyaAllah. Doa seorang ibu yang diucapkan dalam momen kemarahan ternyata bisa menjadi doa yang membuka pintu kesuksesan bagi Imam Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaum Muslimin di seluruh dunia.

Syekh Abdurrahman as-Sudais berasal dari Bani Anza dan telah hafal al-Qur’an pada berusia 12 tahun. Beliau tumbuh besar di Riyadh, mengikuti pendidikan di SD Al-Muthana bin Harits, kemudian melanjutkan kuliah di Riyadh Scientific Institution. Syekh Abdurrahman as-Sudais berhasil lulus pada tahun 1979, saat usianya 17–18 tahun, dengan prestasi yang baik. Beliau meraih ijazah Syariah dari Universitas Riyadh pada tahun 1983, ketika usianya 21–22 tahun, dan menjadi anggota PPI (Pengetahuan Pokok Islam), menjalani peran sebagai pemberi ceramah atau dosen.

Imam besar tersebut mendalami studi Islam di bawah bimbingan gurunya di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud pada tahun 1987, pada usia 25–26 tahun, dan meraih gelar Ph.D. Beliau aktif di Universitas Syariah Islam Ummul Qura sejak tahun 1995, pada usia 33–34 tahun, mengemban peran sebagai asisten profesor setelah aktif di Universitas Riyadh.

Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa setiap doa ibu adalah doa yang mustajab. Meski dalam marah sekalipun, ucapan ibu seperti doa yang menggema di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, hendaknya bagi para ibu, calon ibu, ataupun orang tua selalu mengucapkan dan mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya. Ini menjadi sebuah pengingat penting untuk lebih menjaga lisan, karena setiap kata yang terucap adalah doa. Sebandel dan senakal apapun anak jangan sampai terucap suatu perkataan yang tidak baik pada anak apalagi mendoakan yang tidak baik. Na’udzubillah.

Doa seorang ibu adalah senjata ampuh yang terus menyertai anak-anaknya. Kisah Syekh Abdurrahman as-Sudais mengingatkan kita bahwa kesuksesan yang diraih dapat bersumber dari doa ibu yang tulus dan tanpa batas.

Banyak orang sukses di dunia ini karena mereka tidak hanya menjalin hubungan baik, tetapi juga memuliakan kedua orang tuanya, terutama ibu. Sebagai seorang anak, berdoa, berbakti dan bersyukur atas jasa ibu juga harus dilakukan, tidak terbatas pada saat peringatan hari ibu, melainkan setiap saat dan sepanjang hayat, bahkan ketika ibu sudah meninggal dunia. Ini karena ridha Allah SWT terletak pada ridha orang tua.

Doa yang diucapkan oleh seorang ibu sangatlah dahsyat, mampu menembus langit dengan mudah. Sehingga, tidaklah mengherankan jika doa seorang ibu yang dipanjatkan untuk anaknya dapat dengan sangat mudah dikabulkan oleh Allah SWT.

Sumber : NU Online

Salahuddin Al Ayyubi, Aktualitas Politik dan Keagamaan Negeri Ini Halaman 1  - Kompasiana.comMaulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah perayaan penting dalam agama Islam yang diperingati untuk membangkitkan semangat umat Muslim. Peringatan ini memiliki akar historis yang kuat terkait dengan periode sulit dalam sejarah Islam. Pada saat itu, umat Islam sedang berjuang keras untuk mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yang terdiri dari pasukan dari Prancis, Jerman, dan Inggris, dalam apa yang kita kenal sebagai Perang Salib atau The Crusade.

Pada tahun 1099 M, tentara salib berhasil merebut Yerusalem dan mengubah Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam mengalami kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah.

Saat itulah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi yang juga dikenal sebagai Saladin, muncul sebagai pemimpin yang pandai mengena hati rakyat. Salahuddin memerintah dari tahun 1174-1193 M atau 570-590 H di bawah Dinasti Bani Ayyub. Pusat kekuasaannya berada di Kairo, Mesir, dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Mesir, Suriah, dan Semenanjung Arabia.

Baca juga : Apakah Rasulullah Lahir di Bulan Tidak Mulia ?

Salahuddin merasa bahwa semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, ia mengimbau umat Islam dunia untuk merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah tahun 579 H (1183 M), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah), mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji. Instruksinya adalah agar mereka menyosialisasikan kepada masyarakat Islam bahwa mulai tahun 580 H (1184 M) tanggal 12 Rabiul Awal harus dirayakan sebagai hari Maulid Nabi. Perayaan ini melibatkan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salahuddin ditentang oleh beberapa ulama yang berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi adalah bid’ah (perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam). Namun, Salahuddin menegaskan bahwa perayaan ini hanya kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual dan tidak melanggar prinsip-prinsip agama.

Pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali pada tahun 1184 M (580 H), Salahuddin mengadakan sayembara penulisan riwayat Nabi Muhammad SAW beserta puji-pujian bagi Nabi dalam sastra bahasa yang indah. Sayembara ini diikuti oleh ulama dan sastrawan, dan pemenangnya adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji masih dibaca oleh masyarakat di banyak tempat pada peringatan Maulid Nabi.

Kitab Barzanji mengisahkan kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Kitab ini juga menyoroti sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa yang dapat dijadikan teladan bagi umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut, yaitu Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Karya ini awalnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) dan disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, seiring waktu karya ini lebih dikenal dengan nama penulisnya.

Peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh Sultan Salahuddin berhasil membangkitkan semangat umat Islam. Salahuddin bersama umat muslim berhasil merebut kembali Yerusalem dari tangan bangsa Eropa pada tahun 1187 M (583 H) dan menjadikan Masjidil Aqsa kembali menjadi masjid. Peringatan Maulid Nabi ini berdampak positif dalam menggalang persatuan dan semangat perjuangan umat Islam dalam menghadapi Perang Salib.

Peringatan Maulid Nabi juga memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi disebut juga sebagai Muludan dan telah menjadi sarana dakwah yang digunakan oleh Wali Songo untuk mengajak masyarakat mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai tanda penerimaan Islam.

Di Jawa, peringatan ini juga dikenal dengan sebutan Sekaten. Dua kalimat syahadat ini dilambangkan dengan dua buah gamelan yang dibuat oleh Sunan Kalijaga, yaitu Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu.

Peringatan Maulid Nabi telah menjadi tradisi yang sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia. Peringatan ini diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari mengirimkan makanan khusus kepada tetangga hingga mengadakan upacara di mushala dan masjid-masjid. Acara-acara tersebut mencakup pembacaan Kitab Barzanji, kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan serangkaian kegiatan keagamaan lainnya.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam.

Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji, terdapat kisah bahwa Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Seseorang yang menghormati hari kelahiranku, akan aku syafa’atkan baginya di Hari Kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab dengan semangatnya menambahkan, “Menghormati hari lahir Rasulullah sama halnya dengan menghidupkan Islam!”

Sumber: NU Online

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah ta’ala. Bahkan, beliau melebihi malaikat yang selalu taat beribadah dan tunduk pada perintah Allah setiap saat. Kemuliaannya begitu besar sehingga Allah sendiri, Sang Pencipta alam semesta, memberikan pujaan kepada-Nya.

وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4).
Ini menunjukkan kedudukan yang sangat agung bagi Nabi Muhammad di hadapan Allah.

Namun, mengapa Nabi Muhammad yang mulia ini tidak dilahirkan pada bulan yang agung, seperti Bulan Ramadhan, yang merupakan bulan penuh berkah? Atau mengapa tidak pada hari yang mulia, seperti Jumat? Mengapa Allah memilih bulan Rabiul Awal sebagai waktu kelahiran-Nya, sedangkan bulan ini tidak termasuk dalam empat bulan suci, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab?

Baca juga : Ragam Maulid Nabi, Bukti Akulturasi

Menurut Sayyid Muhammad ibn Alawi Al Maliki, dalam kitabnya “adz-Dzakhâir al-Muhammadiyyah,” (Daru Jawami’il Kalim, Kairo, 42),

وإنما كان مولده في شهر ربيع على الصحيح ولم يكن في المحرم، ولا في رجب، ولا في رمضان، ولا غيرها من الأشهر ذوات الشرف، لأنه عليه الصلاة والسلام لا يتشرف بالزمان، وإنما يتشرف الزمان به، وكذلك المكان، فلو ولد في شهر من الشهور المذكورة، لتُوُهِّمَ أنه تشرف به، فجعل الله تعالى مولده عليه السلام في غيرها ليظهر عنايته به وكرامته عليه

Artinya : Sesungguhnya kelahiran Nabi Muhammad berada di bulan Rabi’ (awal) menurut pendapat yang shahih. Bukan di bulan Muharram, Rajab, Ramadhan dan lain sebagainya dari bulan-bulan yang mulia. Karena Nabi Muhammad tidak mulia karena sebab masa atau waktu. Namun waktu-lah yang menjadi mulia sebab Nabi Muhammad lahir. Begitu pula tentang (kemuliaan) tempat. Jika Nabi dilahirkan di bulan-bulan (mulia) tersebut, bisa jadi akan menimbulkan persepsi, Nabi mulia gara-gara lahir di bulan mulia. Maka, Allah menciptakan kelahiran Baginda Nabi di bulan lain yang justru memberi pertolongan dan kemuliaan di bulan lain itu sendiri.

Pendapat ini juga diperkuat oleh perkataan Syekh Az Zarqani dalam “al-Mawahib al-Laduniyyah” dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Asyraful Wasail ila Fahmil Masail. Hari dan bulan kelahiran Nabi Muhammad yang mulia ini memang murni disebabkan oleh kemuliaan dirinya sendiri, bukan karena faktor lain seperti bulan tertentu.

Begitu juga dengan tempat kelahirannya, meskipun tidak di Ka’bah yang mulia, Makkah justru menjadi mulia karena menjadi tempat kelahiran Rasulullah. Namun, Madinah, sebagai tempat hijrah dan pemakaman Nabi, dianggap lebih mulia oleh banyak ulama karena keberadaan jasad Rasulullah di sana. Dengan kedatangan Rasulullah di Madinah, Allah menciptakan taman surga di antara rumah beliau dan mimbar beliau.

Tak heran, ketika ditanya apa yang bisa membuat seseorang merindukan surga, al-Qa’qa’ al-Ausi menjawab, “Di sana ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Sumber: NU Online

“Pa’ Tani itoelah penolong negeri apabila keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”

Demikian Hadhratusyekh KH Hasyim Asy’ari dalam sebuah tulisan beliau pada 15 Januari 1944 M Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani yang dimuat majalah Soeara Moeslimin Indonesia. Dalam tulisan tersebut, Mbah Hasyim menyoroti pentingnya peran serta posisi petani dalam menjaga kelangsungan hidup sebuah bangsa. Bahkan, beliau dengan tegas menyatakan keyakinannya bahwa petani merupakan salah satu benteng pertahanan terakhir dari negara.

Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), baru-baru ini memaparkan pandangannya mengenai sejumlah tantangan, termasuk krisis energi, pangan, ekonomi, serta perubahan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi dan situasi geopolitik yang berkembang. Bagi beliau, tantangan-tantangan tersebut perlu diubah menjadi peluang bagi Indonesia melalui inovasi besar.

Pada acara Sidang Terbuka Dies Natalis ke-60 Institut Pertanian Bogor (IPB), Presiden Jokowi berbicara mengenai cara Indonesia dapat mengatasi tantangan tersebut, khususnya krisis pangan yang sedang berkecamuk. Pertumbuhan populasi yang terus meningkat, dampak perubahan iklim seperti fenomena super El Nino yang membawa panjangnya masa kemarau, dan situasi geopolitik yang kompleks seperti konflik antara Rusia dan Ukraina, manajemen krisis pangan menjadi semakin penting.

Pengembangan inovasi yang dapat membantu mengatasi krisis pangan perlu dilakukan. Presiden Jokowi meyakini bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi lumbung pangan dunia jika mampu mengelola tantangan ini dengan cerdas.

Baca juga : Ragam Maulid Nabi, Bukti Akulturasi

Pendekatan inovatif dalam menghadapi krisis pangan juga ditekankan oleh seorang pakar dari Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Prof Noer Azam Achsani. Pada sebuah seminar dengan tema “Volatilitas Harga Kedelai dan Solusinya,” Prof Achsani merujuk pada pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Yusuf dalam Al Quran.

Prof Achsani mengungkapkan bahwa Nabi Yusuf memberikan tiga solusi untuk mengatasi krisis pangan.

  • Pertama, adalah usaha bercocok tanam dengan sungguh-sungguh, dengan memperhatikan aspek benih, pupuk, teknologi, serta tantangan alam.
  • Kedua, adalah perlunya penyimpanan dan pengawetan makanan dalam jangka menengah.
  • Ketiga, adalah pengendalian konsumsi dan pengaturan pola makan dalam jangka pendek.

Prof Achsani menyebut Nabi Yusuf sebagai “The Best Economist Ever” karena ajarannya yang bijaksana dalam manajemen pangan dan ekonomi. Beliau menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya, bukan sekadar keinginan, serta menjalankan manajemen stok yang efektif.

Melalui pemikiran Presiden Jokowi dan pembelajaran dari kisah Nabi Yusuf ini, Indonesia memiliki landasan kuat untuk menghadapi krisis pangan dengan inovasi, manajemen yang cerdik, dan semangat untuk berubah menjadi lumbung pangan dunia.

Sumber: NU Online dan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia

Alkisah, setelah kewafatannya, dalam sebuah mimpi, Abu Bakar As-Syibli ditanya oleh Allah:
“Wahai As-Syibli, tahukah engkau apa yang menyebabkan ku mengampuni segala dosamu”
“Sebab amal sholeh ku, Ya Allah” Jawab Asy-Syibli
“Bukan” kata Allah.
“Sebab ibadah-ibadah ku yang ikhlas” Jawab As-Syibli lagi
“Bukan, As-Syibli” Kata Allah
“Wahai Allah, sebab hajiku, puasaku, dan sholatku” Jawab Asy-Syibli untuk yang ketiga kalinya
“Bukan itu” Kata Allah
“Sebab hijrahku bersama orang-orang sholeh dan mencari ilmu” Jawabnya lagi untuk yang keempat “Bukan” kata Allah lagi “Lalu, sebab apa ya Allah, engkau mengampuniku ?” Tanya As-Syibli balik
“Tidakkah Engkau ingat ? Suatu ketika kamu berjalan di sebuah perkampungan di kota Baghdad. Engkau menemukan anak kucing kecil yang sedang kedinginan. Kucing itu meringkuk karena sangat kedingina. Karena rasa belasa kasihanmu, engkau mengambilnya. Lalu, kamu masukkan kucing itu ke dalam bajumu untuk menghangatkannya.” Tanya Allah
“Hamba ingat kejadian itu, Ya Allah” Jawab As-Syibli
“Sebab belas kasihanmu kepada kucing itulah, aku belas kasihan kepadamu dan Ku ampuni segala dosamu” Tegas Allah.
Kisah ini diceritakan dalam kitab “Nashoihul Ibad” karya ulama nusantara Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi atau sering disebut Imam Nawawi Al-Bantani. Kitab ini merupakan syarah dari Kitab “Al-Munabbihat ala Al-Isti’dat li Yaum Al-Ma’ad” karya Shihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al-‘Astqalani.
Kisah As-Syibli ini mengajarkan kepada kita bahwa amal-amal sholeh yang kita anggap besar tidak dapat menjamin ampunan dan rahmat Allah. Namun, justru amal-amal kecil yang kita anggap sepele bisa menjadi washilah untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah.