Letak Masjidil Haram dan Keistimewaannya untuk Umat Muslim Dunia

Hari ini Jumat, 22 Desember 2023 diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Peringatan Hari Ibu atau Mother’s Day adalah hari peringatan terhadap peran dan jasa seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak, maupun lingkungan sosialnya. Setiap kata yang terucap, terutama dari seorang ibu, memiliki kekuatan doa yang luar biasa.

Ada sebuah kisah inspiratif dari seorang bocah mungil yang tengah asyik bermain tanah. Sementara itu sang ibu sibuk menyiapkan jamuan makan yang diadakan oleh sang ayah. Sang tamu dan tuan rumah telah menghadap hidangan makanan ketika makanan siap tersaji di ruang tamu. Saat acara hendak dimulai, tiba-tiba kedua tangan mungil itu menggenggam debu dan menaburkan debu itu diatas hidangan yang tersaji.

Marah pun menyelimuti hati sang ibu ketika melihat hal tersebut, namun sang ibu tetap memilih untuk mengucapkan kata-kata bijak, “Idzhab. Ja’alaka imaaman lilharamain.” yang artinya Pergi kamu. Biar kamu jadi imam di haramain.

Baca Juga : Tahun 2023 Sudah Mencapai Penghujungnya: Sudahkah Kita Muhasabah Diri?

Siapa sangka bahwa anak kecil yang mendengar ucapan tersebut kini telah dewasa dan menjadi Imam Masjidil Haram yang terkenal, Syekh Abdurrahman as-Sudais. MasyaAllah. Doa seorang ibu yang diucapkan dalam momen kemarahan ternyata bisa menjadi doa yang membuka pintu kesuksesan bagi Imam Masjidil Haram yang nada tartilnya menjadi favorit kebanyakan kaum Muslimin di seluruh dunia.

Syekh Abdurrahman as-Sudais berasal dari Bani Anza dan telah hafal al-Qur’an pada berusia 12 tahun. Beliau tumbuh besar di Riyadh, mengikuti pendidikan di SD Al-Muthana bin Harits, kemudian melanjutkan kuliah di Riyadh Scientific Institution. Syekh Abdurrahman as-Sudais berhasil lulus pada tahun 1979, saat usianya 17–18 tahun, dengan prestasi yang baik. Beliau meraih ijazah Syariah dari Universitas Riyadh pada tahun 1983, ketika usianya 21–22 tahun, dan menjadi anggota PPI (Pengetahuan Pokok Islam), menjalani peran sebagai pemberi ceramah atau dosen.

Imam besar tersebut mendalami studi Islam di bawah bimbingan gurunya di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud pada tahun 1987, pada usia 25–26 tahun, dan meraih gelar Ph.D. Beliau aktif di Universitas Syariah Islam Ummul Qura sejak tahun 1995, pada usia 33–34 tahun, mengemban peran sebagai asisten profesor setelah aktif di Universitas Riyadh.

Kisah ini menjadi bukti nyata bahwa setiap doa ibu adalah doa yang mustajab. Meski dalam marah sekalipun, ucapan ibu seperti doa yang menggema di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, hendaknya bagi para ibu, calon ibu, ataupun orang tua selalu mengucapkan dan mendoakan kebaikan untuk anak-anaknya. Ini menjadi sebuah pengingat penting untuk lebih menjaga lisan, karena setiap kata yang terucap adalah doa. Sebandel dan senakal apapun anak jangan sampai terucap suatu perkataan yang tidak baik pada anak apalagi mendoakan yang tidak baik. Na’udzubillah.

Doa seorang ibu adalah senjata ampuh yang terus menyertai anak-anaknya. Kisah Syekh Abdurrahman as-Sudais mengingatkan kita bahwa kesuksesan yang diraih dapat bersumber dari doa ibu yang tulus dan tanpa batas.

Banyak orang sukses di dunia ini karena mereka tidak hanya menjalin hubungan baik, tetapi juga memuliakan kedua orang tuanya, terutama ibu. Sebagai seorang anak, berdoa, berbakti dan bersyukur atas jasa ibu juga harus dilakukan, tidak terbatas pada saat peringatan hari ibu, melainkan setiap saat dan sepanjang hayat, bahkan ketika ibu sudah meninggal dunia. Ini karena ridha Allah SWT terletak pada ridha orang tua.

Doa yang diucapkan oleh seorang ibu sangatlah dahsyat, mampu menembus langit dengan mudah. Sehingga, tidaklah mengherankan jika doa seorang ibu yang dipanjatkan untuk anaknya dapat dengan sangat mudah dikabulkan oleh Allah SWT.

Sumber : NU Online

Salahuddin Al Ayyubi, Aktualitas Politik dan Keagamaan Negeri Ini Halaman 1  - Kompasiana.comMaulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah perayaan penting dalam agama Islam yang diperingati untuk membangkitkan semangat umat Muslim. Peringatan ini memiliki akar historis yang kuat terkait dengan periode sulit dalam sejarah Islam. Pada saat itu, umat Islam sedang berjuang keras untuk mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yang terdiri dari pasukan dari Prancis, Jerman, dan Inggris, dalam apa yang kita kenal sebagai Perang Salib atau The Crusade.

Pada tahun 1099 M, tentara salib berhasil merebut Yerusalem dan mengubah Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam mengalami kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah.

Saat itulah Sultan Salahuddin Al-Ayyubi yang juga dikenal sebagai Saladin, muncul sebagai pemimpin yang pandai mengena hati rakyat. Salahuddin memerintah dari tahun 1174-1193 M atau 570-590 H di bawah Dinasti Bani Ayyub. Pusat kekuasaannya berada di Kairo, Mesir, dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Mesir, Suriah, dan Semenanjung Arabia.

Baca juga : Apakah Rasulullah Lahir di Bulan Tidak Mulia ?

Salahuddin merasa bahwa semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, ia mengimbau umat Islam dunia untuk merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal.

Pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah tahun 579 H (1183 M), Salahuddin sebagai penguasa haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah), mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji. Instruksinya adalah agar mereka menyosialisasikan kepada masyarakat Islam bahwa mulai tahun 580 H (1184 M) tanggal 12 Rabiul Awal harus dirayakan sebagai hari Maulid Nabi. Perayaan ini melibatkan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salahuddin ditentang oleh beberapa ulama yang berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi adalah bid’ah (perbuatan yang tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam). Namun, Salahuddin menegaskan bahwa perayaan ini hanya kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual dan tidak melanggar prinsip-prinsip agama.

Pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali pada tahun 1184 M (580 H), Salahuddin mengadakan sayembara penulisan riwayat Nabi Muhammad SAW beserta puji-pujian bagi Nabi dalam sastra bahasa yang indah. Sayembara ini diikuti oleh ulama dan sastrawan, dan pemenangnya adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji masih dibaca oleh masyarakat di banyak tempat pada peringatan Maulid Nabi.

Kitab Barzanji mengisahkan kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Kitab ini juga menyoroti sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa yang dapat dijadikan teladan bagi umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarang naskah tersebut, yaitu Syekh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim. Karya ini awalnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (artinya kalung permata) dan disusun untuk meningkatkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, seiring waktu karya ini lebih dikenal dengan nama penulisnya.

Peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan oleh Sultan Salahuddin berhasil membangkitkan semangat umat Islam. Salahuddin bersama umat muslim berhasil merebut kembali Yerusalem dari tangan bangsa Eropa pada tahun 1187 M (583 H) dan menjadikan Masjidil Aqsa kembali menjadi masjid. Peringatan Maulid Nabi ini berdampak positif dalam menggalang persatuan dan semangat perjuangan umat Islam dalam menghadapi Perang Salib.

Peringatan Maulid Nabi juga memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi disebut juga sebagai Muludan dan telah menjadi sarana dakwah yang digunakan oleh Wali Songo untuk mengajak masyarakat mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai tanda penerimaan Islam.

Di Jawa, peringatan ini juga dikenal dengan sebutan Sekaten. Dua kalimat syahadat ini dilambangkan dengan dua buah gamelan yang dibuat oleh Sunan Kalijaga, yaitu Gamelan Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu.

Peringatan Maulid Nabi telah menjadi tradisi yang sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia. Peringatan ini diisi dengan berbagai kegiatan, mulai dari mengirimkan makanan khusus kepada tetangga hingga mengadakan upacara di mushala dan masjid-masjid. Acara-acara tersebut mencakup pembacaan Kitab Barzanji, kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan serangkaian kegiatan keagamaan lainnya.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam.

Dalam Madarirushu’ud Syarhul Barzanji, terdapat kisah bahwa Rasulullah SAW pernah mengatakan, “Seseorang yang menghormati hari kelahiranku, akan aku syafa’atkan baginya di Hari Kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab dengan semangatnya menambahkan, “Menghormati hari lahir Rasulullah sama halnya dengan menghidupkan Islam!”

Sumber: NU Online

Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah ta’ala. Bahkan, beliau melebihi malaikat yang selalu taat beribadah dan tunduk pada perintah Allah setiap saat. Kemuliaannya begitu besar sehingga Allah sendiri, Sang Pencipta alam semesta, memberikan pujaan kepada-Nya.

وَاِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ

Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki budi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4).
Ini menunjukkan kedudukan yang sangat agung bagi Nabi Muhammad di hadapan Allah.

Namun, mengapa Nabi Muhammad yang mulia ini tidak dilahirkan pada bulan yang agung, seperti Bulan Ramadhan, yang merupakan bulan penuh berkah? Atau mengapa tidak pada hari yang mulia, seperti Jumat? Mengapa Allah memilih bulan Rabiul Awal sebagai waktu kelahiran-Nya, sedangkan bulan ini tidak termasuk dalam empat bulan suci, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram, dan Rajab?

Baca juga : Ragam Maulid Nabi, Bukti Akulturasi

Menurut Sayyid Muhammad ibn Alawi Al Maliki, dalam kitabnya “adz-Dzakhâir al-Muhammadiyyah,” (Daru Jawami’il Kalim, Kairo, 42),

وإنما كان مولده في شهر ربيع على الصحيح ولم يكن في المحرم، ولا في رجب، ولا في رمضان، ولا غيرها من الأشهر ذوات الشرف، لأنه عليه الصلاة والسلام لا يتشرف بالزمان، وإنما يتشرف الزمان به، وكذلك المكان، فلو ولد في شهر من الشهور المذكورة، لتُوُهِّمَ أنه تشرف به، فجعل الله تعالى مولده عليه السلام في غيرها ليظهر عنايته به وكرامته عليه

Artinya : Sesungguhnya kelahiran Nabi Muhammad berada di bulan Rabi’ (awal) menurut pendapat yang shahih. Bukan di bulan Muharram, Rajab, Ramadhan dan lain sebagainya dari bulan-bulan yang mulia. Karena Nabi Muhammad tidak mulia karena sebab masa atau waktu. Namun waktu-lah yang menjadi mulia sebab Nabi Muhammad lahir. Begitu pula tentang (kemuliaan) tempat. Jika Nabi dilahirkan di bulan-bulan (mulia) tersebut, bisa jadi akan menimbulkan persepsi, Nabi mulia gara-gara lahir di bulan mulia. Maka, Allah menciptakan kelahiran Baginda Nabi di bulan lain yang justru memberi pertolongan dan kemuliaan di bulan lain itu sendiri.

Pendapat ini juga diperkuat oleh perkataan Syekh Az Zarqani dalam “al-Mawahib al-Laduniyyah” dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam Asyraful Wasail ila Fahmil Masail. Hari dan bulan kelahiran Nabi Muhammad yang mulia ini memang murni disebabkan oleh kemuliaan dirinya sendiri, bukan karena faktor lain seperti bulan tertentu.

Begitu juga dengan tempat kelahirannya, meskipun tidak di Ka’bah yang mulia, Makkah justru menjadi mulia karena menjadi tempat kelahiran Rasulullah. Namun, Madinah, sebagai tempat hijrah dan pemakaman Nabi, dianggap lebih mulia oleh banyak ulama karena keberadaan jasad Rasulullah di sana. Dengan kedatangan Rasulullah di Madinah, Allah menciptakan taman surga di antara rumah beliau dan mimbar beliau.

Tak heran, ketika ditanya apa yang bisa membuat seseorang merindukan surga, al-Qa’qa’ al-Ausi menjawab, “Di sana ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

Sumber: NU Online

“Pa’ Tani itoelah penolong negeri apabila keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean negeri, jaitoe diwaktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”

Demikian Hadhratusyekh KH Hasyim Asy’ari dalam sebuah tulisan beliau pada 15 Januari 1944 M Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani yang dimuat majalah Soeara Moeslimin Indonesia. Dalam tulisan tersebut, Mbah Hasyim menyoroti pentingnya peran serta posisi petani dalam menjaga kelangsungan hidup sebuah bangsa. Bahkan, beliau dengan tegas menyatakan keyakinannya bahwa petani merupakan salah satu benteng pertahanan terakhir dari negara.

Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), baru-baru ini memaparkan pandangannya mengenai sejumlah tantangan, termasuk krisis energi, pangan, ekonomi, serta perubahan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi dan situasi geopolitik yang berkembang. Bagi beliau, tantangan-tantangan tersebut perlu diubah menjadi peluang bagi Indonesia melalui inovasi besar.

Pada acara Sidang Terbuka Dies Natalis ke-60 Institut Pertanian Bogor (IPB), Presiden Jokowi berbicara mengenai cara Indonesia dapat mengatasi tantangan tersebut, khususnya krisis pangan yang sedang berkecamuk. Pertumbuhan populasi yang terus meningkat, dampak perubahan iklim seperti fenomena super El Nino yang membawa panjangnya masa kemarau, dan situasi geopolitik yang kompleks seperti konflik antara Rusia dan Ukraina, manajemen krisis pangan menjadi semakin penting.

Pengembangan inovasi yang dapat membantu mengatasi krisis pangan perlu dilakukan. Presiden Jokowi meyakini bahwa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi lumbung pangan dunia jika mampu mengelola tantangan ini dengan cerdas.

Baca juga : Ragam Maulid Nabi, Bukti Akulturasi

Pendekatan inovatif dalam menghadapi krisis pangan juga ditekankan oleh seorang pakar dari Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Prof Noer Azam Achsani. Pada sebuah seminar dengan tema “Volatilitas Harga Kedelai dan Solusinya,” Prof Achsani merujuk pada pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Yusuf dalam Al Quran.

Prof Achsani mengungkapkan bahwa Nabi Yusuf memberikan tiga solusi untuk mengatasi krisis pangan.

  • Pertama, adalah usaha bercocok tanam dengan sungguh-sungguh, dengan memperhatikan aspek benih, pupuk, teknologi, serta tantangan alam.
  • Kedua, adalah perlunya penyimpanan dan pengawetan makanan dalam jangka menengah.
  • Ketiga, adalah pengendalian konsumsi dan pengaturan pola makan dalam jangka pendek.

Prof Achsani menyebut Nabi Yusuf sebagai “The Best Economist Ever” karena ajarannya yang bijaksana dalam manajemen pangan dan ekonomi. Beliau menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan yang sesungguhnya, bukan sekadar keinginan, serta menjalankan manajemen stok yang efektif.

Melalui pemikiran Presiden Jokowi dan pembelajaran dari kisah Nabi Yusuf ini, Indonesia memiliki landasan kuat untuk menghadapi krisis pangan dengan inovasi, manajemen yang cerdik, dan semangat untuk berubah menjadi lumbung pangan dunia.

Sumber: NU Online dan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia

Islam, sebagai salah satu agama monoteistik, mengajarkan pandangan kehidupan yang lebih berfokus pada realitas sosial daripada sekadar sebagai agama yang turun dari langit. Islam memiliki pemahaman yang mendalam tentang keanekaragaman budaya lokal dan sejarah interaksi antara teks agama dan kenyataan sosial.

Islam tiba di Nusantara dalam konteks masyarakat yang kaya akan budaya. Praktik-praktik budaya yang sudah ada diakomodasi dan diadopsi, lalu disesuaikan dengan ajaran Islam. Islam tidak menggantikan budaya yang ada, tetapi malah membantu menguatkan akidah umat dan memberikan nilai, makna, serta pemahaman yang lebih mendalam terhadap budaya yang telah lama hidup dalam masyarakat yang menerima dakwah Islam.

Interaksi antara keduanya dapat disaksikan dalam akulturasi yang menghasilkan tradisi dan ritual keagamaan yang dipraktikan oleh masyarakat sampai dengan saat ini. Salah satu contoh tradisi hasil dari akulturasi antara agama Islam dan budaya nusantara yaitu Maulid Nabi.

Baca juga: Proses Pembangunan Pondok Siap Terima Santri- Ma’had Jawi (mahadjawi.com)

Maulid Nabi Muhammad SAW, sering disebut juga sebagai Maulid Nabi atau Maulud merupakan sebuah upacara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata ‘maulid’ atau ‘milad’ dalam bahasa Arab mengacu pada hari kelahiran. Perayaan Maulid Nabi adalah sebuah tradisi yang muncul dalam masyarakat Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pada dasarnya, peringatan ini adalah cara untuk mengekspresikan kebahagiaan dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad.

Tradisi perayaan Maulid Nabi di Nusantara tentunya berbeda-beda di tiap daerah. Sebagai contoh, di Yogyakarta, peringatan Maulid Nabi dirayakan dengan Grebek Mulud, di mana ada prosesi arak-arakan yang membawa gunungan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju alun-alun utara dan berakhir di masjid Agung Kauman. Ada juga yang menghubungkannya dengan perayaan Sekaten, yang berasal dari kata ‘syahadatain,’ yang merujuk kepada dua kalimat syahadat.

Ragam perayaan Maulid Nabi tersebut menunjukkan bahwa ketika Islam berinteraksi dengan tradisi lokal, citra Islam bervariasi di berbagai tempat. Proses akulturasi antara Islam dan tradisi lokal ini merupakan kontribusi yang berharga untuk memperkaya khazanah Islam. Maulid Nabi, sebagai hasil dari akulturasi ini, dapat menghasilkan wajah baru Islam yang mencerminkan karakteristik budaya lokal di wilayah di mana Islam berkembang.

Idul Adha identik dengan ibadah kurban, yang mana kurban menjadi sebuah momentum untuk berbagi dengan sesama. Pada hari itu, semua umat Muslim di berbagai tempat merasakan kenikmatan makan daging kurban. Bagi mereka yang berkecukupan, makan daging adalah hal yang biasa, namun bagi mereka yang kurang mampu, hal ini memiliki makna yang sangat istimewa.

Dalam pelaksanaan kurban, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah hewan kurban yang diperbolehkan. Ada yang berpendapat bahwa satu ekor sapi atau unta mencukupi untuk tujuh orang, sementara yang lain berpendapat bahwa satu ekor kambing dapat digunakan untuk lebih dari satu orang. Lalu, bagaimana hukum dan tata cara mengeluarkan hewan kurban yang dilakukan dengan patungan.

Satu Sapi atau Unta untuk Tujuh Orang

Beberapa ulama berpendapat bahwa satu ekor sapi atau unta mencukupi untuk tujuh orang. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadis yang menguatkan pandangan tersebut. Menurut para imam mazhab sepakat bahwa sapi atau unta cukup untuk tujuh orang. Dalam kitab Al Badrul Munir fi Takhriji Ahadits As Syarh Al Kabir karya Umar bin Ali bin Al-Mulaqqin (Jilid 23 halaman 147 terbitan Darul Ashimah). Hadis dari Jabir bin Abdillah, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menyembelih satu ekor unta besar untuk tujuh orang. Pendapat ini memiliki dasar kuat dan menjadi pilihan banyak umat Islam. Sebagaimana tercantum pada keterangan berikut.

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ‘Kami pernah menyembelih binatang kurban bersama Rasulullah saw. pada tahun Hudaibiah dengan seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi juga untuk tujuh orang” (H.R. Bukhari dan Muslim)

KH Abdul Qoyyum Manshur di dalam Youtube Muhibbin Gus Qoyyum juga menjelaskan kebolehan patungan dalam kurban ini yang berlandaskan pada hadits Nabi SAW. Sebagaimana yang tercatat dalam Al-Mustadrak karya Al-Hakim, Ibnu Abbas mengisahkan:

كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر فحضر النحر فاشتركنا في البقرة عن سبعة

Artinya, “Kami pernah berpergian bersama Rasulullah SAW, kebetulan di tengah perjalanan hari raya Idul Adha (yaumun nahr) datang. Akhirnya, kami patungan membeli sapi sebanyak tujuh orang untuk dikurbankan,” (HR Al-Hakim)
Baca juga: Haji Mabrur: Kenali Makna dan Ciri-Cirinya

Satu Kambing untuk Lebih dari Satu Orang

Di sisi lain, ada ulama yang berpendapat bahwa satu ekor kambing dapat diniatkan untuk lebih dari satu orang, bahkan sekeluarga. Dalam kitab Al Fiqh Al Islami Wa Adillatuhu Karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili (Jilid 3 halaman 616-617 terbitan Darul Fikri) mengutip dari hadits Shohih Muslim riwayat dari Aisyah yang menyatakan Rasulullah SAW berkurban dengan kambing gibas diniatkan untuk Muhammad (beliau sendiri) dan keluarga beliau.

Mengutip dari kitab, Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan at-Tirmidzi karya Imam Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim bin al-Mubarok Furi (Jilid 5 terbitan Dar Ihya At-turas Al-Arabi). Abu Ayyub Al-Anshori pernah bercerita sebagaimana hadits berikut.

سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

Artinya: “Aku pernah bertanya pada Ayyub Al Anshori, bagaimana qurban di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Beliau menjawab, “Seseorang laki-laki berqurban dengan seekor kambing (diniatkan) untuk dirinya dan satu keluarganya. Lalu mereka memakan sebagian qurban tersebut dan memberikan makan untuk yang lainnya.” (HR. Tirmidzi no. 1505)

Imam Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim bin al-Mubarok Furi menyebutkan bahwa para ulama berhujjah terkait hadits tersebut, sesungguhnya kambing 1 ekor cukup untuk 1 laki-laki dan satu keluarganya meskipun jumlahnya banyak.

Hal ini menunjukkan elastisitas syariat Islam yang mempertimbangkan kondisi sosial, kemampuan ekonomi, dan kekuatan niat umat Islam. Perbedaan pendapat ini diharapkan tidak menimbulkan perdebatan yang berarti, karena keduanya memiliki dasar-dasar dalil yang kuat. Tapi untuk semangat ibadah dan sedekahnya lebih maksimal, lebih baik memilih 1 ekor kambing untuk 1 orang. Sehingga, masing-masing orang bisa mengalirkan darah kurban. Mungkin biaya yang dikeluarkan lebih besar, namun banyaknya biaya dalam kurban lebih utama.

Oleh karena itu, lebih baik bagi umat Islam untuk tidak saling menghujat atau menyalahkan satu sama lain dalam hal ini, karena kurban merupakan ibadah sunnah bukan perkara wajib. Yang terpenting adalah niat yang ikhlas dan pelaksanaan yang sesuai dengan tuntunan agama. Semoga kurban yang dilakukan oleh umat Islam diterima oleh Allah SWT sebagai bentuk ibadah yang tulus dan taat.

Sumber : Youtube Muhibbin Gus Qoyyum

Mulai Ahad (21/05/2023), umat Islam telah memasuki bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah, bulan Dzulqa’dah.  Tentunya, kemuliaan bulan ini harus diimbangi dengan semangat untuk meningkatkan ketaatan dan ibadah. Sebab, setiap ketaatan dan kemaksiatan yang dilakukan pada bulan haram ini akan dilipatgandakan balasannya.

Baca juga : Sejarah Islam: Lima Perang yang Terjadi Pada Bulan Syawal

Beragam keutamaan di bulan ini dapat menjadi cambuk bagi kita untuk selalu memperbaiki diri dan meningkatkan takwa. Diantara keutamaannya yaitu:

Pertama:

Bulan Dzulqa’dah merupakan bulan ke-11 dalam kalender Hijriyah dan termasuk satu dari empat bulan yang dimuliakan (Asyhurul hurum). Sebagaimana yang telah ditegaskan pada Al-Qur’an surah At-Taubah (9) : 36:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُواْ فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Artinya, “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu,” (At-Taubah ayat 36).

Ayat tersebut menjelaskan bahwa terdapat empat bulan haram atau bulan yang dimuliakan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram, dan Rajab. Tentunya, keempat bulan tersebut harus dihormati dan pada waktu itu tidak boleh melakukan peperangan.

Kedua:

Salah satu keistimewaan bulan Dzulqadah adalah bahwa bulan ini termasuk salah satu dari 3 bulan haji, yaitu: Syawal, Dzulqa’dah dan Dzulhijah. Ibadah ihram untuk haji tidak sah jika tidak dilakukan pada bulan-bulan tersebut. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an :

اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ (البقرة: ١٩٧)

Artinya: “Musim haji itu pada bulan-bulan yang telah dimaklumi (ditentukan)” (QS al-Baqarah: 197).

Salah satu hikmah adanya bulan haram, terutama bulan Dzulqa’dah dan Dzulhijah ialah agar pelaksanaan haji di Mekah bisa berlangsung dengan damai dan aman.

Ketiga:

Bulan Dzulqa’dah juga merupakan bulan peringatan bagi umat Islam. Beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam terjadi pada bulan ini, termasuk Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah adalah momentum kesepakatan perdamaian antara Nabi Muhammad dan suku Quraisy. Peristiwa ini memiliki makna penting dalam memperluas penyebaran Islam dan memperkuat fondasi persaudaraan di antara umat Muslim.

Demikian beberapa keistimewaan dan momen penting yang terdapat pada bulan Dzulqa’dah. Dengan mengetahuinya, semoga kita bisa memetik hikmah dan senantiasa meningkatkan kualitas ketaatan kita di bulan mulia ini.

Sumber : NU Online

KH. Raden Abdullah Bin Nuh atau sering dikenal dengan Mama ABN merupakan ulama dari Bogor yang mendunia. Saking cintanya dengan karya-karya Imam Al-Ghazali, beliau dijuluki dengan Al-Ghazali dari Indonesia. Dalam sebuah kitab Masterpiece-nya “Ana Muslim Sunni Syafi’i, beliau menunjukkan pembelaan kepada kaum sufi di bagian akhir kitabnya. Beliau membahas cukup panjang, diantaranya akidah kaum sufi, amaliyah (suluk), karomah, syathathat, dan lain-lain.

Dalam pembelaanya, beliau banyak sekali mengutip pendapat-pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami. Beliau menceritakan kekeramatan para wali Allah seperti Syekh Ibnu Arabi, Syeh Abdul Qodir Al-Jailani, Imam Junaid Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Busthomi, Syekh Ibnu Al-Faridh dan ulama sufi lainnya. Yang menarik bagi saya, beliau mengisahkan orang-orang yang “kualat” karena mengingkari ke-wali-an ulama sufi tersebut dan bahkan mengkafirkannya.

Berikut saya ceritakan ulang apa yang disampaikan beliau dalam kitabnya, yang saya sajikan dalam bentuk tanya jawab:

Abu Said Abdullah bin Ibnu Abu Ashirun, seorang imam madzhab Syafi’i mengisahkan:

“Aku pergi ke Baghdad untuk menimba ilmu. Bersamaan dengan itu, Abu As-Saqa juga pergi ke Baghdad, yaitu ke Nazhamiyyah. Kami menuntut ilmu disana dan sering mengunjungi orang-orang saleh. Konon, di Baghdad ada seorang saleh yang masyhur disebut sebagai “Al-Ghoust” (Penolong). Kemudian, Aku, As-Saqa dan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (saat itu masih muda) mengunjungi orang saleh tersebut”

Ditengah perjalanan kami berbincang-bincang:

Ibnu As-Saqa : “Aku akan bertanya kepadanya perihal sesuatu yang ia tak bisa jawab”

Abu Ashirun : “Aku akan bertanya suatu hal saja”

Syekh Abdul Qadir: “aku akan bertanya kepada beliau kalau aku sudah ada di hadapannya sambil menunggu berkah karena bertemu beliau”

Akhirnya, mereka bertiga sampai di rumah beliau. Setelah, mereka masuk. Syekh Al-Ghoust memandang Ibnu As-Saqa dengan menunjukkan kemarahannya dan berkata:

“Celaka kau, wahai Ibnu As-Saqa, kau bertanya sesuatu yang menurutmu aku tak bisa menjawabnya, pertanyaanmu ini…dan jawabannya ini… sungguh aku melihat api kekufuran yang menyala-nyala dalam dirimu”

Syekh Al-Ghoust berkata kepadaku: “Pertanyaanmu ini dan jawabannya ini, dunia akan dikumpulkan kepadamu hingga engkau tenggelam olehnya hingga sampai pangkal telingamu karena kelakuanmu yang buruk”

Kemudian, Syekh Al-Ghoust memandang Syekh Abdul Qadir dengan menunduk dan memuliakannya, lalu berkata: “Wahai Abdul Qadir, engkau membuat ridla Allah dan Rasul-Nya dengan budi pekertimu. Aku bermimpi bertemu denganmu di kota Baghdad. Engkau sedang naik di atas kursi memberi khutbah kepada orang, dan berkata “Telapak kakiku ini berada di atas setiap pundak wali Allah”. Aku melihatmu dalam mimpiku, para wali merendahkan pundaknya dan mengagungkanmu”.

Lalu, Syeh Al-Ghoust tersebut menghilang dan tak pernah melihatnya lagi. Singkat cerita, Ibnu As-Saqa melanjutkan pendidikannya dan menjadi orang yang cerdas dan ditugaskan oleh khalifah menjadi diplomat untuk menemui Raja Romawi. Sang Raja justru tertarik dengan penampilannya dan dikumpulkanlah semua pendeta nasrani dan disuruh berdebat dengan Ibnu As-Saqa. Semua dikalahkan oleh Ibnu As-Saqa. Raja Romawi memasang perangkap, yaitu ditampilkan putrinya dihadapannya dan Ibnu As-Saqa tertarik.

Celakanya, Sang Raja Romawi mensyaratkan dan berkata: “Engkau boleh menikahinya asalkan engaku masuk Nasrani”. Akhirnya, Ibnu As-Saqa masuk Nasrani dan menikahinya. Tak lama kemudian, Ibnu As-Saqa sakit keras dan dibuang di pasar oleh pihak istana. Ibnu As-Saqa meminta makanan kepada orang-orang, namun tidak diberikan.

Sempat ada orang yg mengenalnya dan berkata: “Kenapa kamu begini?”

Ibnu As-Saqa: Fitnah menimpaku seperi yang kamu lihat”

“Apakah engkau hafal sesuatu Al-Qur’an?” Tanya orang tersebut

“Tidak kecuali, -orang orang kafir itu sering kali menginginkanmu, kiranya mereka dahulu menjadi muslim (Qs Al-Hijr (15:2))” Jawab Ibnu As-Saqa.

“Aku (Abu Ashirun) sempat melihatnya (Ibnu As-Saqa) dalam keadaan terbakar saat ia sekarat menjelang ajalnya. Lalu, aku menghadapkannya ke arah kiblat, namun ia berguling lagi ke arah timur lagi. Hingga, ia menjemput ajalnya dengan wajah menghadap ke timur. Konon, ia (Ibnu As-Saqa) pernah mengisahkan perkataan seorang wali yang disebut Al-Ghoust dan ia pun sadar bahwa dirinya sakit karena itu.”

Baca juga: Menolong Kucing Kedinginan, As-Syibli Diampuni Segala Dosanya

“Sedangkan aku (Abu Ashirun) datang ke Damaskus dan dipaksa oleh Sultan Nuruddin Asy-Syahid sebagai Kepala Perwakafan hingga aku mendapatkan penerimaan harta yang amat banyak”.

Adapun Syekh Abdul Qadir terlihat jelas tenda-tanda kedekatan dengan Allah, bahkan baik orang yang awam maupun yng khusus sepakat bahwa beliau pernah berkata: “Telapak kakiku ini berada di atas pundak setiap wali”.

Mama ABN menuturkan bahwa cerita tersebut mencapai derajat mutawatir secara makna, karena begitu banyak orang yang meriwayatkannya berikut adil periwayatannya.

Semoga kisah ini menjadikan pelajaran bagi kita untuk berhusnudhon dan bersikap sopan kepada wali-wali Allah. Beliau (mama ABN) dalam kitabnya  juga mengisahkan “kualat”-nya seseorang yang mengkafirkan Syekh Ibnu Arabi.

Wallahu a’lam bishoshowab

Artikel ini telah tayang di jatman.or.id

Hamzah Alfarisi

(Mudir Ma’had Jawi)

Alkisah, setelah kewafatannya, dalam sebuah mimpi, Abu Bakar As-Syibli ditanya oleh Allah:
“Wahai As-Syibli, tahukah engkau apa yang menyebabkan ku mengampuni segala dosamu”
“Sebab amal sholeh ku, Ya Allah” Jawab Asy-Syibli
“Bukan” kata Allah.
“Sebab ibadah-ibadah ku yang ikhlas” Jawab As-Syibli lagi
“Bukan, As-Syibli” Kata Allah
“Wahai Allah, sebab hajiku, puasaku, dan sholatku” Jawab Asy-Syibli untuk yang ketiga kalinya
“Bukan itu” Kata Allah
“Sebab hijrahku bersama orang-orang sholeh dan mencari ilmu” Jawabnya lagi untuk yang keempat “Bukan” kata Allah lagi “Lalu, sebab apa ya Allah, engkau mengampuniku ?” Tanya As-Syibli balik
“Tidakkah Engkau ingat ? Suatu ketika kamu berjalan di sebuah perkampungan di kota Baghdad. Engkau menemukan anak kucing kecil yang sedang kedinginan. Kucing itu meringkuk karena sangat kedingina. Karena rasa belasa kasihanmu, engkau mengambilnya. Lalu, kamu masukkan kucing itu ke dalam bajumu untuk menghangatkannya.” Tanya Allah
“Hamba ingat kejadian itu, Ya Allah” Jawab As-Syibli
“Sebab belas kasihanmu kepada kucing itulah, aku belas kasihan kepadamu dan Ku ampuni segala dosamu” Tegas Allah.
Kisah ini diceritakan dalam kitab “Nashoihul Ibad” karya ulama nusantara Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi atau sering disebut Imam Nawawi Al-Bantani. Kitab ini merupakan syarah dari Kitab “Al-Munabbihat ala Al-Isti’dat li Yaum Al-Ma’ad” karya Shihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al-‘Astqalani.
Kisah As-Syibli ini mengajarkan kepada kita bahwa amal-amal sholeh yang kita anggap besar tidak dapat menjamin ampunan dan rahmat Allah. Namun, justru amal-amal kecil yang kita anggap sepele bisa menjadi washilah untuk mendapatkan ampunan dan rahmat Allah.