Pos

Kali ini, saya coba ikut memberikan pandangan soal tinta hitam yang beberapa waktu lalu cukup viral di facebook.
Kajian Struktur Anatomi dan Biokimia
Hampir semua anggota ordo Coloidea memiliki kantung tinta (ink sac) dan menghasilkan tinta (ink), kecuali nautoloidea (Lihat Gambar). Sotong dan cumi-cumi itu berbeda (spesies) hewan, namun masuk dalam anggota Coloidea. Jadi, hewan laut yang menghasilkan tinta hitam TIDAK hanya SOTONG (yang umum masyarakat disebut cumi-cumi). PERBEDAAN sotong dan cumi adalah sotong bertubuh pipih dan cumi bertubuh silinder.
Dimana letak kantung tinta hitamnya?
Tinta hitam (black ink) pada cumi/sotong secara anatomi itu memiliki kantung tinta (ink sac) yang khusus dan berbeda dengan sistem pencernaan (lambung-usus). Namun, tinta itu saat dikelurkan melewati lubang anus. Poinnya adalah TEMPAT dibuat dan disimpannya BERBEDA, NAMUN lubang keluarnya SAMA, yaitu ANUS.
Letak kantung tinta tersebut berada di DALAM TUBUH cumi/sotong, membentuk sebuah struktur berongga berisi cairan yang berada di dalam tubuh (divertikulum), yaitu lebih tepatnya di belakang usus. Tinta tersebut sewaktu-waktu dapat dikeluarkan BILA cumi/sotong mendapatkan ancaman dari pemakannya (predatornya).
Apa isi tinta hitam itu?
Tinta tersebut sebagian besar adalah melanin. Melanin ada sebagian besar organisme mulai hewan, tumbuhan, jamur, dan bakteri, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Pada manusia, melanin merupakan pigmen yang secara alami memberi warna pada bola mata, rambut, dan kulit manusia.
Apa fungsi tinta hitam?
Tinta hitam ini digunakan oleh cumi/sotong untuk pertahanan diri dari predator (anti-predator defense), baik secara langsung dengan mengelabuhi secara visual atau tidak langsung seperti sebagai isyarat untuk memberitahukan ada predator kepada teman-temannya. Melamin ini adalah antikoksidan yang berfungsi fotoprotektif (menjaga dari sinar) di mata, kulit, dan jaringan yang lain. Manfaat tinta ini pada manusia dapat digunakan untuk obat, antibakteri, potensi antikanker, anthipertensi, efek hematopoetic, antiinflamasi, antioksidan, pewarna kosmetik, seni lukis dan sebagainya. Menurut para peneliti, jenis tinta yg dikeluarkan ini memiliki 6 tipe.
Sumber Tulisan ini Bisa dicek di paper: “Chepalopod Ink: Production, Chemistry, Function, and Application“. Marine Drugs 2014
Kajian Fiqih Tinta Hitam
Masalah tinta hitam ini ulama berbeda pendapat. Syaikh Thaifur Ali Wafa dalam kitab “Bulghah At-Tullab” (Hal 106) berpendapat bahwa bila cairan tinta tersebut keluar dari dalam maka dihukumi najis seperti muntahan, namun bila tidak dari dalam maka dihukumi suci seperti air liur. Beliau kemudian mengutip pendapat dari gurunya bahwa tinta hitam tersebut tidak dapat disamakan dengan muntahan karena tinta tersebut diciptakan oleh Allah secara khusus untuk hewan tersebut.
Namun, Al-Habib ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Husain bin ‘Umar al-Masyhur berpendapat lain. Beliau mengatakan Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 15 bahwa tinta hitam tersebut adalah najis sehingga tidak dapat dikonsumsi. Beliu berpijak pada kaidah umum dimana setiap sesuatu yang berada di dalam tubuh yang bukan bagian organ tubuh tersebut, maka dihukumi najis. Karena cairan tersebut adalah darah dan serupa (dengan darah).
Pendapat saya, tinta ini tentu tidak dapat disamakan dengan muntahan karena dari berasal dalam dan tidak dari bagian sistem pencernaan. Tinta ini juga tidak serupa dengan darah, karena komponen darah adalah berbagai macam sel, hormon, protein, lemak dsb. Sedangkan tinta ini sebagian besar adalah melanin.
Namun, jika mengacu pada kaidah umum yg dapat ditemukan dalam kitab-kitab fiqih bahwa setiap sesuatu yg keluar dari dua lubang (anus dan kemaluan) adalah najis, maka pendapat Habib Abdurrahman dapat dibenarkan, karena tinta ini keluar melalui anus, meskipun dari sistem yang berbeda.
Alasan yang dikutip oleh Syekh Thaifir bahwa tinta ini diciptakan khusus oleh Allah untuk hewan ini sangat tepat (tidak ada di hewan-hewan). Artinya beliau mengecualikan dari kaidah umum tersebut untuk kasus tinta cumi/sotong ini.
Akhirnya, saya kembalikan kepada masing-masing pribadi untuk memilih kedua pendapat tersebut. Karena masing-masing memiliki alasan yg benar secara hukum dan ilmiah. Selain itu, saya tidak dalam kapasitas mentarjih kedua qoul ulama-ulama yang sahleh tersebu. Allahu yarhamuhuma. Al-fatihah.
(Mahasiswa Pascasarjana IPB dan Mudir Ma’had Jawi)

Saya akan mengulas buku dari Pak Haidar Bagir dan Gus Ulil Abshar-Abdalla yang berjudul -Sains “Religius”, Agama “Saintifik”-. Sesuai dengan judul dari buku di atas, beliau berdua sejatinya ingin menunjukkan bahwa di dalam agama itu mengandung unsur-unsur dari metode saintifik dan di dalam sains itu juga banyak (atau ada) yang dilhami oleh agama atau kitab suci, yang sebentar lagi akan saya ulas.

Sebelum melanjutkan membaca resensi ini alangkah baiknya, Anda mengosongkan hati sementara untuk menerima penjelasannya point by point supaya tidak ter-hijab oleh diri Anda sendiri (berupa perasaan paling benar dan paling tahu). Baik, jika sudah, mari kita simak secara seksama (sambil sruput kopi juga boleh)

Science (ind: sains) memiliki cara pandang dengan cara mengambil jarak dengan objek (alam semesta) yang diobservasi untuk menilai secara objektif melalui seperangkat metode yang dibangun secara sistematis atau yang lebih dikenal dengan “scientific method“.

Rasionalisme dan empirisme menjadi pondasi pengembangan metode-metode sains. Sains selama ini telah banyak mengungkap hukum-hukum alam, yang pada gilirannya menjadi pondasi kemajuan teknologi yang dapat kita rasakan saat ini. Capaian sains inilah yang patut kita apreasisasi. Namun sangat disayangkan, munculnya ekstrimisme sains (atau Quthbisme sains dalam bahasa Gus Ulil) yang berpandangan bahwa sains-lah satu-satunya metode yang sangat objektif, sehingga pada titik yang paling radikal membodohkan para pengikut agama. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah Richard Dawkins yang menulis buku “Outgrowing God“. Dawkins menganggap bahwa orang beragama seperti anak kecil yang gagal tumbuh yang pada akhirnya meniadakan Tuhan dan mempromosika atheisme.

Dalam realitainya (entah diakui atau tidak), penemuan-penemuan sains juga diilhami dari kitab suci (Al-Quran) dan mimpi. Saya cuplikkan beberapa contoh: (1) Dmitri Mendeleev mendapatkan ilham tabel periodik unsur kimia dari mimpi, (2) Srinivasa Ramanujan mendapatkan ratusan gagasan matematis dari dewi-dewi saat tidur, (3) Prof Abdus Salam menyumbang penyusunan teori penyatuan gaya elektromagnetik dan nuklis lemah yang terinspirasi dari Al-Quran.

Melanjutkan soal ekstrimisme sains, mereka (para ekstrimis sains) menganggap bahwa proses pencarian pengetahuan selain emprisime dan rasionalisme seperti intuisi dan imajinasi tidak dapat diverifikasi layaknya metode saintifik yang koheren dan dapat direplikasi. Anggapan yang demikian tentu tidak benar, bahwa tokoh-tokoh islam seperti Al-Ghazali, Ibn Arabi (aliran irfan), Suhrawardi (aliran iluminisme), Mulla Shadra (aliran filsafat transenden), beliau mengungkapkan hasil pengalaman mistisnya secara diskursif melalui bahasa proporsional logis. Sehingga, sistem-sitem filsafat tersebut memungkinkan dalam memenuhi syarat ilmiah dalam hal context of justification (pembenaran).

Selain soal ekstrimisme sains, di kalangan umat islam banyak dibentur-benturkan antara sains dan agama, dengan berbagai alasan yang akhirnya timbullah sikap anti-sains. Apakah demikian sikap islam terhadap sains? Mari kita lacak dari sisi historis. Sejak Zaman Nabi SAW, sains kedokteran (prophet healing atau thibb al-nabawi) telah berkembang, hingga pada puncaknya pada abad kemajuan islam, banyak saintis muslim yang membidani cabang ilmu-ilmu sains modern. Saya cuplikkan beberapa saintis muslim diantaranya: (1) Jabir Ibnu Hayyan (Geber, ahli kimia), (2) Abu Bakar Al-Razi (Rhazes, ahli kedokteran), (3) Ibnu Haitsam (AlHazen, ahli optik), (4) al-Farabi (ahli sosiologi), (5) Ibnu Khaldun (ahli sejarah), (5) Ibnu Sina (Avicenna, ahli kedokteran), (6) Al-Khawarizmi (Al Gebra, perintis aljabar).

Sebetulnya, hubungan sains dan agama (islam) adalah baik-baik saja, islam tidak-lah anti-sains. Jadi, hakikatnya sains dan agama ini sengaja dibentur-beturkan. Ada banyak model hubungan sains dan agama menurut ilmuwan diantaranya konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Menengok capaian negara-negara muslim di bidang sains cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, saintis di dunia arab (17 diantaranya negara-negara anggota OKI) menghasilkan terbitan saintifik sebanyak 13.444 paper pada tahun 2005, yang jumlah ini 2.000 lebih sedikit hasil publikasi Universitas Harvard saja (15.455). Itu dari sisi kuantitas. Dari segi kualitas, hanya 2 negara muslim (Turki dan Iran) dari 45 negara peringkat teratas berdasarkan Relative Citation Index (RCI).

Kemunduran negara-negara muslim di bidang sains ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) sebagian besar negara-negara muslim relatif miskin, sehingga memprioritaskan program jangka pendek, ketimbang perkembangan sains, (2) ada yang termasuk negara kaya, namun lebih suka konsumsi dari pada produksi, (3) kurangnya kebebasan di negara muslim akibat sistem politik otoritarian, (4) ketidakstabilan politik di negara muslim, dan (5) rendahnya kualitas pendidikan masyatakat di negara muslim tersebut. Sebagai langkah maju, Naeem Khan (Asisten Sekjen OKI) memaparkan program-program bagi negara anggota OKI untuk melipatduakan anggaran riset dan publikasi saintifik dan pembagunan infrastruktur teknologi tinggi seperti IISA (inter-islamic Space Agency), dan tecnology parks.

Untuk mengakhiri resensi ini, saya kutipkan quote dari Gus Ulil yang sangat menarik dan patut kita renungkan, berikut:

– “Iman bukan lawan dari pengetahuan. Karena itu, jangan pertentangkan agama dan sains”.-

Penjelasan selengkapnya, bisa Anda baca di buku Sains “Religius” Agama “Saintifik”. Buku dapat dibeli melalui tautan ini: https://mizanpublishing.com/…/sains-religius-agama…

Baca juga: Islam Memandang Animal Welfare

 (Mahasiswa Doktor IPB University & Mudir Ma’had Jawi)
Munculnya Isu Animal Welfare
Isu animal welfare (kesejahteraan hewan/kesrawan) mulai diperbincangkan sejak awal abad ke-15 sebagai bentuk kedekatan manusia dengan hewan, kemudian terus bergulir. Di beberapa negara seperti Amerika Utara dan Irlandia, undang-undang yang mengatur perlindungan hewan telah disahkan. Pada tahun 1967, seorang petani asal inggris dan seorang aktivis animal welfare, Peter robert, memprotes dan melawan tindakan kekerasan pada hewan dengan membentuk Compassion in World Farming. Tindakan Peter itu dilatarbelakangi oleh peternakan intensif broiler yang tidak memperhatikan kesejahteraan hewan.
Five of Freedom (FoF) (5 Kebebasan)
Puncaknya pada tahun 2004, Office International des Epizooties (OIE) atau Organisasi Kesehatan Hewan Dunia mengeluarkan standar-standar animal welfare yang mengatur kondisi hewan di bawah pengaturan manusia. FoF yaitu:
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus)
2. Freedom from thermal and physical discomfort (bebas dari panas dan rasa tidak nyaman)
3. Freedom from injury, disease and pain (bebas dari luka, penyakit dan rasa sakit)
4. Freedom to express most normal pattern of behavior (bebas mengekspresikan perilaku normal dan alamiahnya)
5. Freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan penderitaan)
Islam Memperlakukan Hewan
Isam muncul pada abad ke-7 yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau diutus untuk memberikan rahmat (kasih sayang) kepada semesta alam seperti dalam surah Al-Anbiya’ ayat 107. Definisi alam yg dimaksud disini adalah selain Allah. Jadi kasih sayang Nabi SAW kepada manusia, jin, hewan, tumbuhan, mikroba, virus, dan makhluk Allah yang lain.
Islam sangat menjunjung tinggi kesejahteraan hewan sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama makhluk Allah. Islam memandang hewan dan makhluk hidup lain sebagai hamba Allah yang sama-sama beribadah kepada-Nya. Seperti dalam surah Al-An’am ayat 38:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ
“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.”
Islam memandang hewan secara proporsional, tidak seperti faham animal right yang melarang bentuk pemanfaatan hewan seperti untuk konsumsi, pakaian, objek penelitian, dan pembebanan dalam suatu pekerjaan. Islam melegalkan bentuk pemanfaatan hewan seperti untuk tujuan konsumsi, untuk kendaraan, atau untuk tujuan-tujuan lain. Ini dijelaskan oleh Allah dalam al-quran surat Ghofir Ayat 79-80:
“Allah-lah yang menjadikan hewan ternak untukmu, sebagian untuk kamu kendarai dan sebagian lagi kamu makan (79). Dan bagi kamu (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain padanya (hewan ternak itu) dan agar kamu mencapai suatu keperluan (tujuan) yang tersimpan dalam hatimu (dengan mengendarainya). Dan dengan mengendarai binatang-binatang itu, dan di atas kapal mereka diangkut (80).”
Nabi Muhammad SAW menunjukkan sifat kepedulian terhadap kesejahteraan hewan, seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat hadist, dimana beliau mengasihi kucing, burung, anjing, dan hewan-hewan lain.
“Diriwayatkan dari Sa’ad Bin Jubair berkata: suatu ketika aku dihadapan Ibnu Umar, kemudian ada sekelompok orang lewat yang menjadikan sasaran lempar seekor ayam betina. Saat melihat ada Ibnu Umar, mereka berpisah menjauhinya. Ibnu Umar berkata: “Siapa yang melakukan ini ? Sesungguhnya Nabi SAW melaknat orang yang melalukan seperti ini (sasaran lempar) kepada hewan” (HR Bukhari No. 5515).
Pada abad ke-12 , jauh sebelum muncul isu animal welfare di barat, seorang ulama dengan gelar Sulthanul Ulama Syaikh Izzuddin Bin Abdissalam telah merumuskan dan memerinci hak-hak hewan yang harus dipenuhi oleh manusia bila memeliharanya. Hal itu ditulis oleh beliau dalam sebuah kitab Qawaaid Al-Ahkam fi Mashaalih Al-Anam, Juz 1 Halaman 167:
ﺣﻘﻮﻕ البهائم ﻭاﻟﺤﻴﻮاﻥ ﻋﻠﻰ اﻹﻧﺴﺎﻥ، ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻳﻨﻔﻖ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻧﻔﻘﺔ ﻣﺜﻠﻬﺎ ﻭﻟﻮ ﺯﻣﻨﺖ ﺃﻭ ﻣﺮﺿﺖ ﺑﺤﻴﺚ ﻻ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻬﺎ، ﻭﺃﻻ ﻳﺤﻤﻠﻬﺎ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻄﻴﻖ ﻭﻻ ﻳﺠﻤﻊ ﺑﻴﻨﻬﺎ ﻭﺑﻴﻦ ﻣﺎ ﻳﺆﺫﻳﻬﺎ ﻣﻦ ﺟﻨﺴﻬﺎ ﺃﻭ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺟﻨﺴﻬﺎ ﺑﻜﺴﺮ ﺃﻭ ﻧﻄﺢ ﺃﻭ ﺟﺮﺡ، ﻭﺃﻥ ﻳﺤﺴﻦ ﺫﺑﺤﻬﺎ ﺇﺫا ﺫﺑﺤﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﻤﺰﻕ ﺟﻠﺪﻫﺎ ﻭﻻ ﻳﻜﺴﺮ ﻋﻈﻤﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﺒﺮﺩ ﻭﺗﺰﻭﻝ ﺣﻴﺎﺗﻬﺎ ﻭﺃﻻ ﻳﺬﺑﺢ ﺃﻭﻻﺩﻫﺎ ﺑﻤﺮﺃﻯ ﻣﻨﻬﺎ، ﻭﺃﻥ ﻳﻔﺮﺩﻫﺎ ﻭﻳﺤﺴﻦ ﻣﺒﺎﺭﻛﻬﺎ ﻭﺃﻋﻄﺎﻧﻬﺎ، ﻭﺃﻥ ﻳﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ ﺫﻛﻮﺭﻫﺎ ﻭﺇﻧﺎﺛﻬﺎ ﻓﻲ ﺇﺑﺎﻥ ﺇﺗﻴﺎﻧﻬﺎ، ﻭﺃﻥ ﻻ ﻳﺤﺬﻑ ﺻﻴﺪﻫﺎ ﻭﻻ ﻳﺮﻣﻴﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﻜﺴﺮ ﻋﻈﻤﻪ ﺃﻭ ﻳﺮﺩﻳﻪ ﺑﻤﺎ ﻻ ﻳﺤﻠﻞ ﻟﺤﻤﻪ.
Hak-hak hewan ternak atas manusia yaitu: (a) memenuhi kebutuhan-kebutuhan dari jenis hewan-hewan tersebut, walaupun hewan-hewan tersebut telah menua atau sakit yang tidak dapat diambil manfaatnya; (b) tidak membebani hewan-hewan tersebut melebihi batas kemampuannya; (c) tidak mengumpulkan di antara hewan tersebut atau antara hal-hal yang membuat hewan tersebut terluka, baik dari jenisnya atau selain dari jenisnya dengan mematahkan tulangnya, menusuk, atau melukainya; (d) menyembelihnya dengan baik jika menyembelihnya, tidak menguliti kulitnya dan tidak pula mematahkan tulang hingga hewan tersebut menjadi dingin dan hilang hidupnya, tidak menyembelih anak hewan tersebut di depannya, namun mengisolasinya; (e) membuat nyaman kandang dan tempat minumnya,
(f) menyatukan antara jantan dan betina bila telah datang musim kawin; (g) tidak membuang buruannya, (h) tidak menembak dengan apapaun yang mematahkan tulangnya atau membunuhnya dengan benda-benda yang menyebabkan tidak halal dagingnya.
Korelasi Animal Welfare dan Syariat Islam
Bila kita mencermati isi dalam five of freedom dengan nash-nash dalam alqur’an, hadist, atupun hukum fiqih pada uraian di atas tidak bertentangan. Keduanya sejalan dalam konteks memerlakukan hewan. Oleh karena itu, animal welfare yang dalam hal ini direpresentasikan dengan FoF tidak bertentangan dengan syariat islam dan bahkan sejalan dengan syariat islam.
(Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Kedokteran Hewan IPB & Khadim Ma’had Jawi)