Saya akan mengulas buku dari Pak Haidar Bagir dan Gus Ulil Abshar-Abdalla yang berjudul -Sains “Religius”, Agama “Saintifik”-. Sesuai dengan judul dari buku di atas, beliau berdua sejatinya ingin menunjukkan bahwa di dalam agama itu mengandung unsur-unsur dari metode saintifik dan di dalam sains itu juga banyak (atau ada) yang dilhami oleh agama atau kitab suci, yang sebentar lagi akan saya ulas.

Sebelum melanjutkan membaca resensi ini alangkah baiknya, Anda mengosongkan hati sementara untuk menerima penjelasannya point by point supaya tidak ter-hijab oleh diri Anda sendiri (berupa perasaan paling benar dan paling tahu). Baik, jika sudah, mari kita simak secara seksama (sambil sruput kopi juga boleh)

Science (ind: sains) memiliki cara pandang dengan cara mengambil jarak dengan objek (alam semesta) yang diobservasi untuk menilai secara objektif melalui seperangkat metode yang dibangun secara sistematis atau yang lebih dikenal dengan “scientific method“.

Rasionalisme dan empirisme menjadi pondasi pengembangan metode-metode sains. Sains selama ini telah banyak mengungkap hukum-hukum alam, yang pada gilirannya menjadi pondasi kemajuan teknologi yang dapat kita rasakan saat ini. Capaian sains inilah yang patut kita apreasisasi. Namun sangat disayangkan, munculnya ekstrimisme sains (atau Quthbisme sains dalam bahasa Gus Ulil) yang berpandangan bahwa sains-lah satu-satunya metode yang sangat objektif, sehingga pada titik yang paling radikal membodohkan para pengikut agama. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah Richard Dawkins yang menulis buku “Outgrowing God“. Dawkins menganggap bahwa orang beragama seperti anak kecil yang gagal tumbuh yang pada akhirnya meniadakan Tuhan dan mempromosika atheisme.

Dalam realitainya (entah diakui atau tidak), penemuan-penemuan sains juga diilhami dari kitab suci (Al-Quran) dan mimpi. Saya cuplikkan beberapa contoh: (1) Dmitri Mendeleev mendapatkan ilham tabel periodik unsur kimia dari mimpi, (2) Srinivasa Ramanujan mendapatkan ratusan gagasan matematis dari dewi-dewi saat tidur, (3) Prof Abdus Salam menyumbang penyusunan teori penyatuan gaya elektromagnetik dan nuklis lemah yang terinspirasi dari Al-Quran.

Melanjutkan soal ekstrimisme sains, mereka (para ekstrimis sains) menganggap bahwa proses pencarian pengetahuan selain emprisime dan rasionalisme seperti intuisi dan imajinasi tidak dapat diverifikasi layaknya metode saintifik yang koheren dan dapat direplikasi. Anggapan yang demikian tentu tidak benar, bahwa tokoh-tokoh islam seperti Al-Ghazali, Ibn Arabi (aliran irfan), Suhrawardi (aliran iluminisme), Mulla Shadra (aliran filsafat transenden), beliau mengungkapkan hasil pengalaman mistisnya secara diskursif melalui bahasa proporsional logis. Sehingga, sistem-sitem filsafat tersebut memungkinkan dalam memenuhi syarat ilmiah dalam hal context of justification (pembenaran).

Selain soal ekstrimisme sains, di kalangan umat islam banyak dibentur-benturkan antara sains dan agama, dengan berbagai alasan yang akhirnya timbullah sikap anti-sains. Apakah demikian sikap islam terhadap sains? Mari kita lacak dari sisi historis. Sejak Zaman Nabi SAW, sains kedokteran (prophet healing atau thibb al-nabawi) telah berkembang, hingga pada puncaknya pada abad kemajuan islam, banyak saintis muslim yang membidani cabang ilmu-ilmu sains modern. Saya cuplikkan beberapa saintis muslim diantaranya: (1) Jabir Ibnu Hayyan (Geber, ahli kimia), (2) Abu Bakar Al-Razi (Rhazes, ahli kedokteran), (3) Ibnu Haitsam (AlHazen, ahli optik), (4) al-Farabi (ahli sosiologi), (5) Ibnu Khaldun (ahli sejarah), (5) Ibnu Sina (Avicenna, ahli kedokteran), (6) Al-Khawarizmi (Al Gebra, perintis aljabar).

Sebetulnya, hubungan sains dan agama (islam) adalah baik-baik saja, islam tidak-lah anti-sains. Jadi, hakikatnya sains dan agama ini sengaja dibentur-beturkan. Ada banyak model hubungan sains dan agama menurut ilmuwan diantaranya konflik, independensi, dialog, dan integrasi. Menengok capaian negara-negara muslim di bidang sains cukup memprihatinkan. Bagaimana tidak, saintis di dunia arab (17 diantaranya negara-negara anggota OKI) menghasilkan terbitan saintifik sebanyak 13.444 paper pada tahun 2005, yang jumlah ini 2.000 lebih sedikit hasil publikasi Universitas Harvard saja (15.455). Itu dari sisi kuantitas. Dari segi kualitas, hanya 2 negara muslim (Turki dan Iran) dari 45 negara peringkat teratas berdasarkan Relative Citation Index (RCI).

Kemunduran negara-negara muslim di bidang sains ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: (1) sebagian besar negara-negara muslim relatif miskin, sehingga memprioritaskan program jangka pendek, ketimbang perkembangan sains, (2) ada yang termasuk negara kaya, namun lebih suka konsumsi dari pada produksi, (3) kurangnya kebebasan di negara muslim akibat sistem politik otoritarian, (4) ketidakstabilan politik di negara muslim, dan (5) rendahnya kualitas pendidikan masyatakat di negara muslim tersebut. Sebagai langkah maju, Naeem Khan (Asisten Sekjen OKI) memaparkan program-program bagi negara anggota OKI untuk melipatduakan anggaran riset dan publikasi saintifik dan pembagunan infrastruktur teknologi tinggi seperti IISA (inter-islamic Space Agency), dan tecnology parks.

Untuk mengakhiri resensi ini, saya kutipkan quote dari Gus Ulil yang sangat menarik dan patut kita renungkan, berikut:

– “Iman bukan lawan dari pengetahuan. Karena itu, jangan pertentangkan agama dan sains”.-

Penjelasan selengkapnya, bisa Anda baca di buku Sains “Religius” Agama “Saintifik”. Buku dapat dibeli melalui tautan ini: https://mizanpublishing.com/…/sains-religius-agama…

Baca juga: Islam Memandang Animal Welfare

 (Mahasiswa Doktor IPB University & Mudir Ma’had Jawi)
1 reply

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] Baca juga: Sains “Religius”, Agama “Saintifik”: Menyoal Ekstrimisme Sains dan Kemunduran Negara Muslim … […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *