Ramadhan tahun ini hampir sampai pada penghujungnya, yang artinya sebentar lagi kita akan berpisah dengan bulan Ramadhan dan memasuki bulan selanjutnya. Sudah hampir satu bulan penuh kita berpuasa. Sudah hampir satu bulan penuh kita mencoba memaksimalkan ibadah dan berlomba-lomba mendapatkan banyak keberkahan pada bulan Ramadhan.

Namun sudah benarkah ibadah yang kita lakukan? Apakah puasa kita diterima Allah SWT? Apakah semua ibadah-ibadah tersebut menjadikan kita menjadi hamba yang benar-benar bertakwa? Apakah semangat untuk beribadah pada saat Ramadhan akan sama setelahnya?

Imam Ibnu Rajab dalam Kitab Lathaiful Ma’arif menjelaskan mengenai tanda-tanda ketaatan yang diterima dan yang tidak diterima, sebagaimana berikut ini:

عَلاَمَةُ قَبُوْلِ الطَّاعَةِ أَنْ تُوْصَلَ بِطَاعَةٍ بَعْدَهَا وَ عَلَامَةُ رَدِّهَا أَنْ تُوْصَلَ بِمَعْصِيَةٍ. مَا أَحْسَنَ الْحَسَنَةِ بَعْدَ الْحَسَنَةِ وَأَقْبَحَ السَّيِّئَةِ بَعْدَ الْحَسَنَةِ

Artinya, “Tanda-tanda diterimanya ketaatan adalah dengan konsisten terus beribadah setelahnya. Dan tanda-tanda ditolaknya ketaatan adalah dengan melakukan kemaksiatan setelahnya. Betapa mulianya suatu ibadah yang dilakukan setelah ibadah yang lain, dan betapa jeleknya sebuah keburukan yang dilakukan setelah ibadah.”

Baca juga: Ciri-ciri Orang yang Mendapatkan Malam Lailatul Qadar – (mahadjawi.com)

Dari kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa ibadah puasa yang diterima yaitu apabila semangat dan konsistensi ibadah kita terus berlanjut sampai setelah lebaran. Sebaliknya, jika tidak semangat menunjukkan bahwa ibadah atau ketaatan kita ditolak oleh Allah SWT.

Dalam hadistnya, Rasulullah SAW juga pernah menyampaikan mengenai perbuatan yang dapat merusak ibadah puasa seseorang. Rasullullah SAW menjelaskan bahwa hal-hal yang dapat merusak puasa seseorang yaitu berbohong, berkata kotor, membicarakan keburukan orang lain, dan naminah.

الصَّوْمُ جُنَّةٌ مَا لَمْ يَخْرِقْهَا. بِمَ يُخْرِقُهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكَذْبٍ أَوْ بِسَبَّابٍ أَوْ بِغِيْبَةٍ أَوْ نَمِيْمَةٍ

Artinya, “Puasa adalah benteng, selama engkau tidak membakarnya. Para sahabat bertanya, dengan apa bisa membakarnya, wahai Rasulullah? Nabi menjawab: dengan berbohong, berkata kotor, membicarakan keburukan orang lain, dan adu domba.” (HR An-Nasa’i).

Kedua hal tersebut dapat sama-sama kita jadikan sebagai bahan intospeksi diri selama menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadhan. Dalam melakukan evaluasi terhadap puasa Ramadhan kita selama ini, kita dapat memperbaiki diri di masa yang akan datang. Dengan melakukan evaluasi secara teratur, kita akan semakin memahami arti dan nilai ibadah puasa serta mampu menjalankannya dengan lebih baik lagi kedepannya. Semoga ibadah dan amalan yang telah kita lakukan selama Ramadhan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Semoga puasa Ramadhan kita selama ini diterima Allah SWT. Aamiin

Sumber: NU Online

Saat ini kita sudah memasuki akhir Ramadan, bulan suci yang penuh berkah dan ampunan. Selama Ramadan, umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah puasa sebagai salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Namun, terkadang dalam menjalankan puasa, seseorang dapat melakukan beberapa hal yang menyebabkan puasanya batal. Dalam hal ini, ada beberapa jenis batal puasa yang harus di qadha, atau diganti dengan puasa pada hari lain. Tahukah kamu jenis batas puasa apa saja yang harus di wadha?

Baca juga: Ciri-ciri Orang yang Mendapatkan Malam Lailatul Qadar – (mahadjawi.com)

Penjelasan mengenai batal puasa dan konsekuensinya tertuang dalam kitab Safinatu an-Naja karya Syekh Sumai, dalam Fashl wa Aqsanmul-Iftar yang  berbunyi sebagaimana berikut:

وَأَقْسَامُ الْإِفْطَارِ أَرْبَعَةٌ أَيْضًا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ ألْقَضَاءُ وَالْفِدْيَةُ وَهُوَ إِثْنَانِ أَلْأَوَّلُ أَلْإِفْطَارُ لِخَوْفٍ عَلَى غَيْرِهِ وَالثَّانِيْ أَلْإِفْطَار مَعَ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ مَعَ إِمْكَانِهِ حَتَّى يَأْتِيَ رَمَضَانُ أَخَرُ وَثَانِيْهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ الْقَضَاءُ دُوْنَ الْفِدْيَةِ وَهُوَ يَكْثُرُ كَمُغْمَي عَلَيْهِ وَثَالِثُهَا مَا يَلْزَمُ فِيْهِ أَلْفِدْيَةُ دُوْنَ الْقَضَاءِ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيْرٌ وَرَابِعُهَا لَا وَلَا وَهُوَ أَلْمَجْنُوْنُ أَلَّذيْ لَمْ يَتَعَدَّ بِجُنُوْنِهِ

Artinya: Macam-macam putusnya puasa dan hukumnya terdiri dari empat hal; Pertama, perkara yang mewajibkan qadha dan membayar fidyah, yaitu putusnya puasa sebab mengkhawatirkan orang lain dan tidak menqadha puasa disebabkan menunda-nunda pada waktu yang dimungkinkan, hingga datang bulan Ramadhan berikutnya. Kedua, perkara yang hanya mewajibkan qadha saja, dalam hal ini terjadi pada kebanyakan orang seperti sakit ayan dan lain-lain. Ketiga, perkara yang mewajibkan membayar fidyah tidak qadha, yaitu orang yang tua renta. Keempat, tidak wajib qadha dan tidak wjib fidyah yaitu orang gila yang tidak disengaja gilanya. (Syekh Salim bin ‘Abdillah Bin Sumair, Safinatun-Naja fi Ushulid-Din wal-Fiqh, Surabaya: al-Bayan, hal. 114).

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa:

  1. Wajib qadha dan fidyah, yaitu membatalkan puasa karena mengkhawatirkan orang lain dan terlambat qadha sampai Ramadhan berikutnya. Contoh karena mengkhawatirkan orang lain yaitu seorang ibu yang menyui dan mengkhawatirkan kesehatan anaknya.
  2. Wajib qadha, yaitu orang yang tidak berpuasa atau membatalkan puasa karena sakit, perjalanan jauh, ayan, lupa niat, sengaja membatalkan puasa, dll.
  3. Wajib fidyah tanpa qadha, yaitu untuk orang yang tidak mampu membayar qadha karena sakit yang tidak bisa sembuh dan orang tua renta yang tidak mampu menjalankan puasa.
  4. Tidak wajib qadha dan tidak wajib fidyah, yaitu untuk orang gila, anak yang belum baligh, dan orang kafir.

Sumber: NU Online

Malam Lailatul Qadar merupakan malam yang sangat istimewa bagi umat Muslim karena di dalamnya terdapat keberkahan dan keistimewaan yang luar biasa. Malam Lailatul Qadar diyakini sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, sehingga orang yang mendapatkan malam ini sangat beruntung.

Tidak ada seorangpun yang mengetauhi kapan datangnya malam Lailatul Qadar. Allah SWT merahasiakannya dari umat manusia dan hanya orang-orang terpilih yang bisa mengetahui. Salah satu yang termasuk orang pilihan yang dapat mengetahui datangnya malam Lailatul Qadar yaitu Rasulullah SAW. Rasullullah pernah menjelaskan mengenai ciri-ciri malam Lailatul Qadar sebagaimana tercantum dalam hadist berikut:

فقد سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن علاملت ليلة القدر فقال هي ليلة بلجة اي مشرقة نيرة لاحارة ولا باردة ولاسحاب فيها ولامطر ولاريح ولايرمى فيها بنجم ولاتطلع الشمس صبيحتها مشعشة

Artinya: Rasulullah SAW pernah ditanya tentang tanda-tanda lailatul qadar, maka beliau bersabda: Yaitu malam yang terang dan bercahaya, udaranya tidak panas dan tidak dingin, tidak ada mendung tidak ada hujan, tidak ada gerak angin dan tidak ada bintang yang dilempar. Paginya matahari terbit dengan terang tapi tidak terlalu memancar.

Baca juga: I’tikaf di Bulan Ramadhan, Kapan Waktu Terbaiknya? – Ma’had Jawi (mahadjawi.com)

Karena datangnya malam Lailatur Qadar tidak diketahui oleh seorangpun, maka banyak dari kita yang berlomba-lomba untuk meningkatkan kulaitas dan kuantitas ibadahnya. Berbagai macam ikhtiar dilakukan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan untuk meraihnya. Salah satu ikhtiar yang dilakukan oleh sejumlah kalangan yaitu dengan menggelar qiyaumul laili demi memastikan bisa mendapatkan malam Lailatul Qadar.

Namun, bagaimana cara mengenali ciri-ciri orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar? Berikut adalah beberapa ciri-ciri orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar menurut Prof. Quraish Shihab:

Pertama, dalam Al-Quran tertulis bahwa malaikan akan turun pada malam Lailatul Qadar (QS. Al-Qadr: 4) sebagaimana berikut:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

Artinya: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. (QS Al-Qadr: 4)

Malaikat senang apabila turun mengunjungi seseorang yang berbuat kebaikan, dengan demikian berbuat baik secara terus menerus bisa mengantarkan kita mendapatkan malam Lailatul Qadar.

Kedua, pada malam Lailatul Qadar akan terasa kedamaian sampai fajar. Hal ini tercantum dalam QS Al-Qadr: 5 yang berbunyi:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ

 

Artinya: Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadr: 5)

Kesejahteraan atau kedamaian yang dimaksud dalam ayat tersebut dapat diartikan sebagai damai dengan diri dan damai dengan orang lain. Dengan kedamaian inilah, kita bisa mendapatkan malam kemuliaan.

Dari tanda-tanda yang telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanda seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadar yaitu; yang kebaikannya terus meningkat dalam kehidupan sehari-hari setelah Ramadhan; dan yang hati serta perilakunya penuh dengan kedamaian.

Sumber: NU Online

I’tikaf secara bahasa berasal dari kata ‘akafa–ya’kifu–ukufan. Bila kalimat itu dikaitkan dengan kalimat “an al-amr” menjadi “akafahu an al-amr” berarti mencegah. Bila dikaitkan dengan kata “ala” menjadi “akafa ‘ala al-amr” artinya menetapi. Pengembangan kalimat itu menjadi i’takafa-ya’takifu-i’tikafan artinya tetap tinggal pada suatu tempat. I’takafa fi al-masjid berarti “tetap tinggal atau diam di masjid”.

Secara istilah, i’tikaf berarti tetap tinggal atau berdiam diri di masjid dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Adapun i’tikaf dapat dilakukan dengan berdzikir, bertasbih, dan kegiatan terpuji lainnya.

I’tikaf merupakan salah satu amalan sunnah yang dapat dilaksanakan setiap waktu, namun sangat dianjurkan untuk diperbanyak pada saat Bulan Ramadhan utamanya pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Baca juga: Maksimalkan Ibadah Selama Ramadhan, Berikut Amalan Sunnahnya – Ma’had Jawi (mahadjawi.com)

Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah RA sebagaimana berikut:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ   أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا   رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ   فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Nabi SAW biasa beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian aku memasang tirai untuk beliau, lalu beliau mengerjakan shalat Shubuh, kemudian beliau masuk ke dalamnya. Hafsah kemudian meminta izin pada Aisyah untuk memasang tirai, lalu Aisyah mengizinkannya, maka Hafsah pun memasang tirai. Waktu Zainab binti Jahsyi melihatnya, ia pun memasang tirai juga. Pagi harinya Nabi SAW menjumpai banyak tirai dipasang, lalu beliau bertanya: Apakah memasang tirai-tirai itu kamu pandang sebagai suatu kebaikan?” Maka beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu (Ramadhan itu). Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari  dari bulan Syawal (sebagai gantinya). (Hadis Shahih, riwayat Al-Bukhari: 1892 dan Muslim: 2007).

Hadist lain yang menjelaskan tentang keutamaan ini juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari berikut:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ   الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Artinya: Dari Aisyah RA istri Nabi SAW menuturkan: Sesungguhnya Nabi SAW melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istrinya mengerjakan i’tikaf sepeninggal beliau. (Hadis Shahih, riwayat Al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006).

Sumber: NU Online

Saat ini merupakan bulan Ramadhan, bulan suci yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia. Sebagai bulan penuh berkah, Ramadan dianggap sebagai kesempatan yang luar biasa bagi umat Islam untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT dengan beribadah dan berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pada saat ini kita sebagai umat Islam berlomba-lomba beribadah dan berbuat kebaikan di bulan Ramadan. Namun, tahukah kamu alasan dibalik penamaan Ramadhan? Mengapa bulan yang begitu istimewa ini diberi nama Ramadhan?

Menurut sejarah, penamaan bulan Ramadhan berasal dari kata Arab “Ramad” yang berarti panas yang sangat terik atau terbakar. Hal ini terkait dengan iklim di Arab Saudi pada waktu itu, di mana bulan Ramadan jatuh pada musim panas. Sehingga suhu yang sangat panas dan terik inilah yang kemudian menjadi sumber nama Ramadhan. Kata “Ramadhan” (رمضان) adalah derivat dari kata “al-ramdla’(الرمضاء) yang berarti “bebatuan yang panas (الحجارة الحارة).”

Baca juga: Lengkap! Jadwal Kajian Ramadhan di Ma’had Jawi – Ma’had Jawi (mahadjawi.com)

Lebih lanjut, para ulama juga menjelaskan bahwa kata ‘ramadhan’ (رمضان) diambil dari kata ‘ramidha’ (رَمِضَ) yang memiliki arti panas. Adapun makna dari panas tersebut yaitu membakar atau menghapus dosa-dosa orang yang berpuasa. Dalam riwayat  Anas bin Malik radliya Allahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:

 وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ

Artinya, “Dan sungguh, Anas bin Malik telah meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah berkata: Sesungguhnya, dinamakan Ramadhan karena membakar dosa.”   

Imam Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami al-Mishri merangkum alasan penamaan-penamaan tersebut dalam kitabnya. Beliau menyebutkan bahwa penamaan Ramadhan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor seperti karena pada bulan Ramadhan dosa-dosa kita dihilangkan, karena hati kita menerima panasnya nasihat, dan karena pada zaman dahulu bertepatan dengan musim panas. Dalam kitabnya disebutkan:

لِأَنَّهُ يُرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ يُحْرِقُهَا، وَقِيلَ: لِأَنَّ الْقُلُوبَ تُؤْخَذُ فِيهِ مِنْ حَرَارَةِ الْمَوْعِظَةِ، وَقِيلَ : سُمِّيَ رَمَضَانَ لِأَنَّهُمْ لَمَّا نَقَلُوا أَسْمَاءَ الشُّهُورِ عَنْ اللُّغَةِ الْقَدِيمَةِ سَمَّوْهَا بِالْأَزْمِنَةِ الَّتِي وَقَعَتْ فِيهَا فَوَافَقَ زَمَنَ الْحَرِّ وَالرَّمَضِ

Artinya, “Sesungguhnya, (dinamakan Ramadhan) karena menghilangkan dosa-dosa, atau membakar (dosa-dosa). Dikatakan (menurut satu pendapat), karena hati menerima panasnya nasihat (mauidzah). Dikatakan (pula), dinamakan Ramadhan karena masyarakat terdahulu ketika memberi nama pada bulan-bulan dengan bahasa terdahulu, mereka menamakan bulan dengan musim yang bertepatan pada bulan tersebut, dan Ramadhan bertepatan dengan musim panas.” (Imam Bujairami, Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz XII, halaman 43).

 

sumber: NU Online

Puasa merupakan salah satu ibadah yang wajib dilakukan oleh umat Islam selama bulan Ramadan. Namun, puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa saja. Lebih dari itu, puasa juga harus dilakukan dengan kualitas yang baik, yakni dengan memahami esensi dari ibadah tersebut.

Salah satu esensi dari tujuan berpuasa adalah untuk membentuk pribadi yang taqwa. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Surah Al Baqarah ayat 183. Keteria atau ciri-ciri orang yang  bertaqwa juga telah diterangkan lebih lanjut dalam Surah Ali Imran ayat 134. Salah satu cirinya yaitu mampu menahan amarahnya.

Untuk mencapai tujuan taqwa, puasa yang dilakukan harus berkualitas. Puasa berkualitas atau yang disebut shawmul khushush menurut Imam Al-Ghazali merupakan puasa orang-orang terdahulu.

Puasa ini dapat dilakukan dengan menahan diri dari segara larangan-larangan agama. Imam Al-Ghazali pernah menuliskan hal ini dalam kitabnya yang berjudul Ihya Ulumuddin sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

وأما صوم الخصوص وهو صوم الصالحين فهو كف الجوارح عن الآثام

Artinya, “Adapun puasa khusus adalah puasa orang-orang saleh, yaitu menahan anggota tubuh dari segala dosa,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 296).

Imam Al-Ghazali juga menekankan bahwa hal yang penting dilakukan agar puasa kita berkualitas yaitu pengendalian anggota badan seperti telinga, mata, lisan, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya.

وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام

Artinya, “Adapun puasa khusus adalah mengendalikan pendengaran, penglihatan, ucapan, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan dari dosa,” (Al-Ghazali, 2018 M: I/296).

Lebih lanjut, beliau juga menjelaskan bahwa puasa juga merupakan bentuk pengendalian diri. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa orang yang berpuasa harus menyatakan dirinya puasa ketika diprovokasi oleh pihak lain.

وقال صلى الله عليه و سلم إنما الصوم جنة فإذا كان أحدكم صائما فلا يرفث ولا يجهل وإن امرؤ قاتله أو شاتمه فليقل إني صائم إني صائم

Artinya, “Dari sahabat Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda, ‘Bila salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia berkata keji dan bertindak bodoh. Jika seseorang memprovokasinya atau memakinya, hendaklah ia menghindar, ‘Aku sedang berpuasa. Aku sedang berpuasa’’” (Al-Ghazali, 2018 M: I/296).

Sumber: NU Online

 

Beberapa hari lagi, kita akan menyambut bulan istimewa, bulan kesembilan pada kalender Hijriah, yaitu bulan Ramadhan. Banyak keberkahan dan ampunan di dalamnya. Bahkan salah satu hadist menjelaskan bahwa pada bulan Ramadhan pintu surga dibuka selebar-lebarnya, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu (HR Al-Bukhari). Hadist ini menjelaskan bahwa bulan Ramadhan begitu istimewa, karena peluang untuk beribadah dan menggapai pahala terbuka lebar bagi siapa pun.

Dalam menyambut bulan Ramadhan, kita bisa memperbanyak pengetahuan kita mengenai seluk-beluknya. Termasuk amalan-amalan yang dapat dilakukan baik bersifat wajib  maupun sunnah. Dengan demikian kita akan termotivasi untuk dapat menjalankan ibadah dengan sebaik-baiknya. Selain itu, dengan mengetahui amalan-amalan yang bisa dilakukan pada bulan Ramadhan, semoga kita bisa memaksimalkannya.

Beberapa amalan yang sangat dianjurkan yaitu menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meninggalkan perkataan kotor. Hal tersebut tercantum dalam matan Ghayah wa Taqrib atau juga akrab dengan sebutan Matan Abi Syuja’. Dalam matan tersebut tertulis sebagai berikut:

ويستحب في الصوم ثلاثة أشياء: تعجيل الفطر وتأخير السحور وترك الهجر من الكلام

Artinya, “Disunahkan pada saat puasa tiga hal: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meninggalkan perkataan kotor (keji).

Menyegerakan berbuka puasa

Hendaknya, ketika mendengar adzan kita segera menyegerakan berbuka puasa. Tidak baik menahan haus dan lapar menahan seharian penuh. Hal ini telah dianjurkan Rasulullah dalam sebuah hadist yang berbunyi:

لايزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

Artinya, “Manusia masih berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka,” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Maka dari itu, menyegerakan berbuka puasa merupakan sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW. Selain itu, berbuka puasa juga lebi dianjurkan untuk memakan kurma, atau jika tidak maka bisa diganti dengan air putih.

Baca juga: Macam Batal Puasa dan Konsekuensinya – Ma’had Jawi (mahadjawi.com)

Mengakhirkan sahur

Mengakhirkan sahur merupakan kesunahan. Nabi Muhammad SAW menganjurkan umatnya untuk melaksanakan sahur di akhir malam namun tidak terlalu dekat dengan waktu subuh. Hadist riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

لاتزال أمتي بخير ما عجلوا الإفطار وأخروا السحور

Artinya, “Umatku berada dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur,” (HR Ahmad).

Meninggalkan perkataan kotor

Puasa sejatinya tidak hanya menahan rasa haus dan lapar saja, namun kita juga harus bisa menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan maksiat dan munkar, salah satunya berkata bohong dan berkata kotor. Allah SWT tidak menerima puasa orang yang suka maksiat, berkata kotor, dan berbohong sebagaimana tertuang dalam sebuah hadist:

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

Artinya, “Orang yang tidak meninggalkan berkata dusta dan berbuat dusta, maka Allah tidak peduli dengan haus dan lapar yang dia tahan,” (HR Al-Bukhari).

Selain ketiga sunnah yang telah disebutkan di atas, berikut beberapa amalan sunnah yang juga dapat dilakukan selama bulan Ramadhan:

  1. Memperbanyak sedekah
  2. Memperbanyak i’tikaf di masjid
  3. Memperbanyak membaca Al-Quran
  4. Membaca doa berbuka puasa
  5. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan hikmah puasa

 

Sumber: NU Online

Ramadhan tinggal beberapa hari lagi. Sebagai umat Muslim, ada beberapa  hal yang harus dipersiapkan dan diperhatikan untuk menyambut Ramadhan. Salah satu hal yang harus diperhatikan dengan lebih yaitu mengenai utang puasa. Bagi yang tidak berpuasa Ramadhan dengan alasan perjalanan (safar) jauh yang memenuhi syarat, sakit yang bisa sembuh, lupa niat pada malam hari, memiliki penyakit ayan, sengaja tidak berpuasa, atau alasan lainnya maka wajib mengqadha puasa.

Qadha puasa dilakukan sejak tanggal dua Syawal sampai sebelum Ramadhan berikutnya. Apabila terlambat mengqadha sampai Ramadhan berikutnya karena menunda-nunda, maka orang tersebut bukan hanya wajib mengqadha puasa tapi juga wajib membayar fidyah (denda). Ketentuan ini didasarkan pada HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi.

والثاني الإفطار مع تأخير قضاء) شىء من رمضان (مع إمكانه حتى يأتي رمضان آخر) لخبر من أدرك رمضان فأفطر لمرض ثم صح ولم يقضه حتى أدركه رمضان آخر صام الذي أدركه ثم يقضي ما عليه ثم يطعم عن كل يوم مسكينا رواه الدارقطني والبيهقي فخرج بالإمكان من استمر به السفر أو المرض حتى أتى رمضان آخر أو أخر لنسيان أو جهل بحرمة التأخير. وإن كان مخالطا للعلماء لخفاء ذلك لا بالفدية فلا يعذر لجهله بها نظير من علم حرمة التنحنح وجهل البطلان به. واعلم أن الفدية تتكر بتكرر السنين وتستقر في ذمة من لزمته.

Artinya, “(Kedua [yang wajib qadha dan fidyah] adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha) puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba) didasarkan pada hadits, ‘Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah,’ (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

Baca juga: Lima Amalan Malam Nifsu Syaban yang Wajib Kamu Ketahui (mahadjawi.com)

Sementara itu, apabila tidak mengqadha puasa hingga Ramadhan tiba dikarenakan oleh beberapa kondisi yang diperbolehkan, maka orang tersebut tidak wajib mengqadha. Adapun kondisi yang diperbolehkan seperti karena bersafari (selalu dalam perjalanan) seperti pelaut, orang sakit hingga tiba Ramadhan berikutnya, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha (kecuali yang hidup membaur dengan ulama). Hukum ini telah dijelaskan oleh Imam Nawai Banten dalam Kasyifatus Saja (h. 114) yang berbunyi:

فخرج بالإمكان من استمر به السفر أو المرض حتى أتى رمضان آخر أو أخر لنسيان أو جهل بحرمة التأخير. وإن كان مخالطا للعلماء لخفاء ذلك لا بالفدية فلا يعذر لجهله بها نظير من علم حرمة التنحنح وجهل البطلان به. واعلم أن الفدية تتكر بتكرر السنين وتستقر في ذمة من لزمته.

Artinya, “ Di luar kategori ‘memiliki kesempatan’ adalah orang yang senantiasa bersafari (seperti pelaut), orang sakit hingga Ramadhan berikutnya tiba, orang yang menunda karena lupa, atau orang yang tidak tahu keharaman penundaan qadha. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur.”

Adapun berikut ini adalah lafal niat qadha puasa Ramadhan:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta‘âlâ. Artinya, “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”

 

Sumber: NU Online

Bulan Syaban merupakan salah satu bulan yang dimuliakan oleh Allah SWT. Dalam bulan ini, terdapat banyak keistimewaan khususnya pada malam ke-15 yang pada tahun ini jatuh pada hari Rabu, 8 Maret 2023. Malam Nifsu Syaban menjadi istimewa karena diyakini bahwa Allah SWT akan menghapuskan dosa mereka-mereka yang memohon pengampunan. Pernyataan tersebut berdasarkan hadist dalam Shahih Ibnu Hibban yang berbunyi:

يَطْلُعُ اللَّهُ إِلَى خَلْقِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Artinya: “Artinya, “Allah SWT memperhatikan makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang kafir dan orang yang bermusuhan.”

Hadist lain mengenai keutamaan malam Nifsu Syaban diriwayatkan oleh Imam  al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman yang berbunyi:

“Apabila tiba malam Nisfu Sya’ban, maka malaikat berseru menyampaikan dari Allah: adakah orang yang memohon ampun maka aku ampuni, adakah orang yang meminta sesuatu maka aku berikan permintaannya” (HR al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

Baca juga: Sains “Religius”, Agama “Saintifik”: Menyoal Ekstrimisme Sains dan Kemunduran Negara Muslim di Bidang Sains Ma’had Jawi (mahadjawi.com)

Meskipun sebagian ulama menilai hadist mengenai keutamaan malam Nifsu Syaban tersebut sebagai hadist dhaif, akan tetapi kedhaifan tersebut tidak sampai pelarangan. Karena mayoritas ulama membolehkan pengamalan hadits dhaif untuk fadhail a’mal. Bahkan Imam Syihabuddin Ahmad al-Burullusi al-Mishri menjelaskan bahwa menghidupkan malam Nifsu Syaban hukumnya Sunnah, sama seperti menghidupkan malam hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Hal tersebut tertulis dalam kitab beliau yang berjudul Qalyubi wa ‘Umairah (Mahalli).

Berikut merupakan lima amalan utama yang dilakukan pada malam Nifsu Syaban:

Amalan yang pertama yaitu membaca Surat Yasin

Membaca Surat Yasin sebanyak 3 kali. Pembacaan yang pertama diniatkan untuk memohon agar dipanjangkan umurnya dalam kondisi taat dan patuh kepada Allah SWt. Pembacaan kedua diniatkan untuk memohon menolak bala seumur hidup, dan pembacaan yang ketiga diniatkan unuk meminta kecukupan selama hidup di dunia.

Kedua, memperbanyak doa

Pada malam Nifsu Syaban, kita dianjurkan untuk memperbanyak sebagaimana tertuang dalam hadist yang diriwayatkan Abu Bakar ash-Shidiq sebagaimana berikut:

ينزل الله إلى السماء الدنيا ليلة النصف من شعبان فيغفر لكل شيء، إلا لرجل مشرك أو رجل في قلبه شحناء

Artinya: “(Rahmat) Allah SWT turun ke bumi pada malam nisfu Sya’ban. Dia akan mengampuni segala sesuatu kecuali dosa musyrik dan orang yang di dalam hatinya tersimpan kebencian (kemunafikan),” (HR Al-Baihaqi).

Ketiga yaitu memperbanyak istighfar

Berkesinambungan dengan hadist di atas, maka kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak istighfar.

Keempat, memperbanyak syahadat

Kita dianjurkan untuk banyak membaca kalimat-kalimat mulia pada malam Nifsu Syaban. Salah satunya yaitu memperbanyak membaca syahadat. Hal ini berdasarkan anjuran dari Sayid Muhammad bin Alawi yang mana beliau mengatakan bahwa:

“Seyogyanya seorang muslim mengisi waktu yang penuh berkah dan keutamaan dengan memperbanyak membaca dua kalimat syahadat, La Ilaha Illallah Muhammad Rasululullah, khususnya bulan Sya’ban dan malam pertengahannya.”

Kelima, membaca doa Syekh Abdul Qadir al-Jilani

Sebagai penutup rangkaian amalan pada malam Nifsu Syaba, kita dianjurkan untuk membaca doa yang dipanjatkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jilani sebagaimana berikut ini:

اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِهِ، مَصَابِيْحِ الْحِكْمَةِ وَمَوَالِيْ النِّعْمَةِ، وَمَعَادِنِ الْعِصْمَةِ، وَاعْصِمْنِيْ بِهِمْ مِنْ كُلِّ سُوْءٍ. وَلَا تَأْخُذْنِيْ عَلَى غِرَّةٍ وَلَا عَلَى غَفْلَةٍ، وَلَا تَجْعَلْ عَوَاقِبَ أَمْرِيْ حَسْرَةً وَنَدَامَةً، وَارْضَ عَنِّيْ، فَإِنَّ مَغْفِرَتَكَ لِلظَّالِمِيْنَ، وَأَنَا مِنَ الظَّالِمِيْنَ، اللهم اغْفِرْ لِيْ مَا لَا يَضُرُّكَ، وَأَعْطِنِيْ مَا لَا يَنْفَعُكَ، فَإِنَّكَ الْوَاسِعَةُ رَحْمَتُهُ، اَلْبَدِيْعَةُ حِكْمَتُهُ، فَأَعْطِنِي السَّعَةَ وَالدَّعَةَ، وَالْأَمْنَ وَالصِّحَّةَ وَالشُّكْرَ وَالْمُعَافَاةَ، وَالتَّقْوَى، وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ وَالصِّدْقَ عَلَيَّ، وَعَلَى أَوْلِيَائِيْ فِيْكَ، وَأَعْطِنِي الْيُسْرَ، وَلَا تَجْعَلْ مَعَهُ الْعُسْرَ، وَأَعِمَّ بِذَلِكَ أَهْلِيْ وَوَلَدِيْ وَإِخْوَانِيْ فِيْكَ، وَمَنْ وَلَدَنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Artinya, “Ya Allah limpahkan rahmat ta’dhim-Mu kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, lampu-lampu hikmah, tuan-tuan nikmat, sumber-sumber penjagaan. Jagalah aku dari segala keburukan lantaran mereka, janganlah engkau hukum aku atas kelengahan dan kelalaian, janganlah engkau jadikan akhir urusanku suatu kerugian dan penyesalan, ridhailah aku, sesungguhnya ampunanMu untuk orang-orang zhalim dan aku termasuk dari mereka, ya Allah ampunilah bagiku dosa yang tidak merugikanMu, berilah aku anugerah yang tidak memberi manfaat kepadaMu, sesungguhnya rahmat-Mu luas, hikmah-Mu indah, berilah aku kelapangan, ketenangan, keamanan, kesehatan, syukur, perlindungan (dari segala penyakit) dan ketakwaan. Tuangkanlah kesabaran dan kejujuran kepadaku, kepada kekasih-kekasihku karena-Mu, berilah aku kemudahan dan janganlah jadikan bersamanya kesulitan, liputilah dengan karunia-karunia tersebut kepada keluargaku, anaku, saudar-saudaraku karena-Mu dan para orang tua yang melahirkanku dari kaum muslimin muslimat, serta kaum mukiminin dan mukminat.” (Syekh Abdul Qadir al-Jilani, Ghunyah al-Thalibin, juz 3, hal. 249)

Sumber: jabar.nu.or.id

Bullying atau perundungan merupakan suatu perilaku yang merugikan dan seringkali dilakukan secara terus-menerus oleh satu individu atau kelompok terhadap orang lain. Bullying dapat terjadi di berbagai lingkungan, mulai dari sekolah, tempat kerja, hingga dalam keluarga. Di Indonesia, kasus bullying akhir-akhir ini semakin marak terjadi, terutama di kalangan anak dan remaja.

Survei Nasional tentang Perilaku Kesehatan di Sekolah (SNPKS) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa sekitar 34,9% siswa SMA di Indonesia pernah mengalami bullying.  Sementara itu, survei yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sekitar 43% siswa di Indonesia pernah mengalami cyberbullying, yaitu bullying yang dilakukan melalui media sosial atau platform online lainnya.

Save the Children pada tahun 2021 juga pernah melakukan survei terhadap kasus bullying atau perundungan di Indonesia. Hasil survei menunjukkan bahwa sekitar 57,1% anak di Indonesia pernah mengalami kekerasan psikologis, termasuk bullying. Hasil survei tersebut diperinci oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LBH Jakarta) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa sebanyak 40% korban bullying di Indonesia adalah anak usia sekolah dasar. Data-data tersebut menunjukkan bahwa bullying telah menjadi masalah yang serius di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak dan remaja.

Telah kita ketahui bersama bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan cinta damai dan menghormati sesama manusia. Dalam ajarannya, Islam sangat melarang tindakan bullying atau perundungan, apapun alasannya. Larangan tersebut tertuang dalam beberapa ayat Al-Quran dalam beberapa istilah atau padanan kata.

Baca juga: Kualat: Pembelaan KH Abdullah Bin Nuh terhadap Kaum Sufi – Ma’had Jawi (mahadjawi.com)

Ayat pertama yaitu QS. Al-Baqarah ayat 14, dengan istilah istihza. Istihza berarti mengolok-olok. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengolok-olok adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan merendahkan atau mengejek seseorang atau sesuatu hal. Tindakan ini seringkali dilakukan dengan cara yang kasar atau tidak sopan, dan dapat menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan rasa sakit emosional. Larangan mengolok-olok tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 14 yang berbunyi:

وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ

Artinya: “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. (QS Al-Baqarah :14)

Larangan lain tercantum dalam AL-Quran dengan istilah sakhr. Sakhr berarti merendahkan dan mengejek. Istilah sakhr tercantum dalam surah Hud ayat 38, yang mana ayat itu ditujukan untuk menyinggung umat Nabi Nuh AS yang mengejek Nabi Nuh AS saat membuat perahu. Adapun ayat tersebut berbunyi:

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ ۚ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ

Artinya: “Mulailah Nuh membuat bahtera. Dan setiap kali pemimpin kaumnya berjalan meliwati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah Nuh: “Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) mengejekmu sebagaimana kamu sekalian mengejek (kami).” (QS. Hud : 38)

Dalam kedua ayat tersebut Allah SWT secara jelas melarang tindakan bullying. Selain berbahaya terhadap kesehatan mental yang menyebabkan trauma, tindakan bullying juga dapat berdampak pada fisik korban. Seorang korban bullying dapat mengalami masalah fisik seperti cedera, masalah kesehatan fisik, dan bahkan risiko bunuh diri.

Semoga kita senantiasa dijauhkan dari hal-hal yang demikian. Serta semoga tidak terjadi lagi perilaku bullying di masa depan.

 

Sumber: nu.online.id